Friday, May 2, 2008

Semalam Bersama Angkot

Lagi-lagi tulisan lama. Sindrome poster paper skripsi benar-benar ampuh membuat saya futur dari kegiatan tulis menulis. Bahkan buku yang telah lama saya belipun belum kelar-kelar saya baca.

Maka daripada stres sendiri mendingan saya posting ini:

Tulisan ini saya buat sekitar awal-awal januari kemarin.Beginilah isinya:

Ngomong-ngomong semalam ada pengalaman menarik. Saat itu sudah menunjukkan jam delapan malam, posisi saya saat itu sedang berada di terminal Bratang. Tahu kan, terminal Bratang adalah sebuah terminal kecil penghubung ITS Keputih dengan terminal Bungur asih. Jadi kalau ada seseorang dari ITS yang Keputih mau ke Bungurasih pasti  via terminal bratang ini (*kepastian ini hanya untuk yang naik angkutan umum loh, lain lagi kalau naik motor atau mobil pribadi. Ya terserah dia mau lewat mana*). Nah waktu itu saya mau ke Keputih , dan satu-satunya angkot yang menuju sana itu cuma satu, yang simbol “S”, itupun harus jeli-jeli karena ada dua angkot yang memakai symbol “S”. Saya sering tertipu masalah ini. Dari sinilah kejanggalan pertama terungkap: Kenapa sampai ada dua angkot dengan symbol yang sama, seperti tidak ada huruf lain saja.

Masalahnya (bagi yang pernah naik lyn S dari Bratang pasti tahu) angkot kita yang satu ini mau berangkat kalau penumpangnya sudah penuh, sekitar 7+4+2+1, ya 14. Lah.., waktu itu kan sudah cukup malam untuk sebuah angkot beroperasi, ndilalah penumpang yang sudah di dapat angkot itu cuma seorang yang sedang duduk di depan plus dua orang yang masih berdiri di depan pintu. Saya masuk, jadi empat, disusul seorang lagi yang duduk di sebelah saya. Jadinya berapa? Yup lima. Masih kurang sembilan untuk menuju 14. Pikiran saya sudah mengembara kemana kiranya mencari sembiilan ksatria yang mau menggenapi  isi angkot di malam dingin habis diterpa hujan lebat ini.

Merasa bahwa ini akan lama, saya keluar dulu untuk membeli buah pada tukang yang kebetulan mangkal tak jauh dari situ. Hal ini ternyata disusul oleh orang yang sedang duduk di sebelah saya. Dari sini saya memperoleh kesimpulan pertama : ternyata kita orang yang paling suka tiru-tiru bahkan untuk hal yang remeh temeh seperti ini.

Saya naik lagi, orang yang duduk di sebelah saya tadi juga naik. Terus seperti sebuah sinetron, akhirnya kita kenalan. Coba tebak apa kalimat pembuka untuk mengawali perkenalan ini. Tanya jam berapa, menawarkan permen, atau pura-pura menginjak kakinya (*wah jadi ingat cerpen “putri” yang saya buat*). Ups bukan itu, caranya cuma sederhana kok : turun mana?. Perbincangan pun mengalir sendiri.

Satu orang penumpang bapak-bapak masuk. Jadi kini kami berenam.

Bus yang dari Bungurasih datang. Kami berenam, para penumpang, sumringah. Kukira para penumpang sedang menggumamkan sesuatu di hatinya masing-masing: Berangkat… berangakat!!. (*Nyambung nggak, kalau nggak nyambung coba dipikir sendiri saja ya. Kalau nggak mau mikir ya dibaca kelanjuatannya saja pasti ngerti sendiri*.)

Ternyata ujian bagi kami kelima penumpang plus satu penumpang baru tadi belum selesai. Penumpang yang turun dari bus dan berpindah ke angkot yang sedang kita tumpangi cuma ada empat, artinya sekarang penumpangnya berjumlah sepuluh (*perasaan dari tadi main tambah-tambahan saja ya*). Saya berpikir keras, dari mana mendapat tambahan empat orang lagi. Kami semua terdiam , was-was dengan keadaan ini. Sopir belum mau memberangkatkan angkotnya. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, akhirnya dua orang yang kelihatan sepasang suami istri atau baru pacaran, yang baru saja naik tadi, memutuskan keluar dan berjalan ke timur entah kemana. Tak tahan. Saya dan beberapa penumpang berpandangan, saling bertanya lewat pandangan itu : darimana lagi kita dapat tambahan penumpang

Semenit lagi lewat, dua menit, dan lima menit pun juga lewat, lalu seorang penumpang yang juga baru masuk tadi terlihat menelepon. Jelas kami mendengar percakapannya, dan jelas pula kami memahami maksud percakapannya itu. Ya , benar sekali, ia minta di jemput. Ia pun keluar. Kami, para penumpang yang sudah lumutan cuma bisa tersenyum kecut. Kayaknya kita menunggu subuh untuk berangkat.

Parahnya lagi, kesimpulan saya yang pertama tadi berlaku juga. Melihat ada yang memutuskan turun, penumpang terakhir yang tersisa dari “penumpang baru” tadi memutuskan turun juga dan pergi enatah keman. Pertanyaan saya yang pertama : jika anda sebagai para penumpang baru tadi apa yang anda lakukan mengahadapi situasi semacam ini.

1.      Tetap menunggu bersama penumpang yang lain, berpikir kalau seandainya saya turun maka perlu waktu yang lebih lama lagi untuk angkot ini berjalan, kasihan para penumpang yang telah menunggu lebih lama dari saya.

2.      Turun saja, minta dijemput, memang gue pikiran angkot ini berangkat lama atau tidak. Persoalan penumpang yang sudah lama menunggu ya salah sendiri nggak punya teman yang bisa menjemput.

3.      Menunggu pasrah nggak punya pikiran macam-macam.

 

Lima menit, sepuluh menit kembali berlalu, akhirnya datang bus kota lagi. Kami sudah berharap banyak, kelihatannya isinya juga penuh, artinya harapan untuk penumpang yang berpindah dari bus kota itu ke angkot yang kita tumpangi cukup banyak juga besar. Kami sudah bersiap, duduk dalam posisi siap berangkat. Kami menunggu, tapi amboi, hanya seorang pak tua saja yang masuk ke angkot kami dari banyak penumpang di bus kota itu. Kami mulai frustasi (atau saya saja yang frustasi), marah dengan keadaan ini. Kesimpulan kedua saya dapat : beginilah potret masyarakat kita, segala hal tidak memperhitungkan waktu, tak pernah pak sopir memasukkan variable waktu dalam fungsi pemberangkatan angkotnya.

Ups, kami semua putus asa. Kurasa semuanya sedang berdo’a memohon keajaiban. Tiba-tiba makelar penumpang menghampiri kami, menawarkan sebuah win-win solution. Begini katanya : “wah, sudah dua bis, tapi nggak penuh-penuh juga. Gimana kalau lima ribuan perorang, langsung berangkat. Sama-sama enak, sampean enak, sopir juga nggak rugi”. Kontan saja semua penumpang menggerutu, ini sih bukan win-win solution, naik sih naik tapi ya jangan sampai 100 % dong. Tadi sudah dapat 10 penumpang dicuekin.

Negosiasi gagal.

Menit-menit kembali berlalu.

Makelar kembali menghampiri kami. Nampaknya ia adalah juru runding yang dikirim si sopir. Kalau dalam masa tunggu begini memang sopir jarang nongol di depan penumpang, takut didesak untuk segera berangkat mungkin. Ia kembali menawarkan hal yang sama dengan tadi, tapi sekarang turun : jadi empat ribuan. Saya jadi berhitung-hitung : jika empat ribu itu dikalikan dengan jumlah penumpang yang ada berarti menghasilkan nilai 24000, artinya masih lebih rendah dari uang yang diperoleh seandainya si sopir memberangkatkan sepuluh penumpang yang sudah ia dapat tadi dengan tarif  normal, 2500.

Penumpang menawarkan jalan tengah, tiga ribu saja. Makelar nampaknya kurang sepakat.

Negosiasi gagal lagi.

Harapan semakin menipis dan beberapa penumpang sudah memulai memperbincangkan alternative naik becak (*saya juga heran darimana mereka dapat ide gila itu, ongkosnya kan pasti jauh lebih mahal dibanding jika seandainya mereka menerima tawaran makelar tadi*) . Tak ada yang bisa dilakukan, untuk menggunakan waktu dengan membaca rasanya tidak mungkin, selain karena lampunya yang cuma remang-remang yang kalau memaksakan diri justru dapat merusak mata, membaca dalam suasana gelisah seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali bacaan yang terbaca saja tanpa ada yang terserap, mirip makan junk food.

Dan

Mungkin anda pernah mendapatkan kata-kata semacam ini : ketika harapan sudah semakin menipis dan hampir sudah tidak ada harapan , maka disitulah seringkali sebuah titik cerah atau keajaiban lahir. Ya, tidak dinyana-nyana, dari arah yang tak terduga, tiba-tiba ada serombongan ikhwan akhwat berjumlah tujuh orang menghampiri makelar, menanyakan sesuatu, kelihatannya bukan orang Surabaya. Harapan kami meninggi, dan…..oh Gusti!!mereka naik angkot yang kami tumpangi.

Sungguh akan sangat sulit sekali menggambarkan kebahagiaan yang melingkupi saya dan para penumpang lain mungkin. Ternyata suatu kebahagiaan membuncah kadang-kadang justru datang dari hal-hal kecil semacam ini, dari hal remeh temeh yang seringkali tak terbayangkan oleh kita. Kita mungkin terlalu sibuk mencari kebahagiaan dengan hal-hal besar, yang fantastis, atau bahkan yang wah. Padahal di sekitar kita banyak sebenarnya sumber-sumber kebahagiaan yang berpotensi menentramkan hati kita.

Maka akhirnya angkotpun melaju, membawa hati-hati yang diliputi rindu suasana rumah. Kurasa kami sedang bersorak tanpa suara.

 

No comments: