Sunday, September 19, 2010

benar-salah

“Yang berbuat salah kemungkinan bakal bisa berbuat benar, demikian pula yang benar, ada kemungkinan bakal berbuat salah”

Seorang bapak melemparkan kalimat itu di pagi tadi. Membuat saya sejenak mencerna dan merenungkannya.Kalimata sederhana memang, tapi bisa berarti dalam. Betapa sekarang, boleh jadi tak banyak yang benar-benar memahami kalimat ini dengan benar. Apalagi sampai mengaplikasikan makna yang tersirat darinya.

Pagi itu dalam sebuah sambungan telpon kami berbicara tentang kambing hitam. Kambing hitam dalam artian konotatif.Tentang seseorang yang sukanya mencari kambing hitam atas sebuah kesalahan. Lalu mencacimakinya dengan sebuah umpatan menusuk, melukai, dan teramat kasar hingga seolah si bersalah adalah orang yang tak mungkin berbuat benar. Menggoblokkannya dengan penggoblokan yang terlalu. Seolah si terdakwa adalah orang yang bakal abadi dengan kesalahannya. Seolah si pencaci adalah orang benar yang tak akan mungkin berbuat kesalahan (yang sama). Juga seolah si benar adalah si orang yang kekal dalam kebenarannya.

Mungkin rumusan ini sudah benar-benar tersingkirkan; Bahwa kita yang benar kali ini, boleh jadi akan salah di lain waktu. Dan kita yang salah kali ini, amat sangat mungkin bakal benar di lain kesempatan. Maka semuanya haruslah sewajarnya. Sebab ternyata kita semua, amat sangat mungkin berada di posisi manapun. Tak terkecuali menjadi si bersalah itu. Jadi jika pada suatu kesempatan kita dalam posisi benar, lalu ada seorang yang berbuat kesalahan (tak disengaja), dan kita memutuskan untuk membodoh-bodohkannya, mencacinya habis-habisan, maka itu tak ubahnya kita yang sedang mencaci dan membodohkan diri sendiri untuk sebuah waktu di masa depan. Sebab ternyata memang  tak ada yang bisa menjamin kalau kita bakal terbebas dari kesalahan yang sama.

Maka mungkin yang kita butuhkan sering-sering adalah tarikan nafas panjang. Lalu istighfar. Mengandaikan kita sendiri lah yang berada dalam posisi tersalahkan. Sehingga kita tak akan larut dalam keasyikan mencari kambing hitam, tak juga terbuai dengan enaknya menyalah-nyalahkan. Kita akan bergerak mencari penyelesaian. Sebab ternyata memang tak banyak masalah yang terselesaikan dengan hanya mengetahui siapa yang salah. Lebih banyak bahkan tak penting untuk tahu siapa yang salah. Tersebut atau tidak si bersalah, sama saja.

Yang terpenting memang evaluasi. Agar kesalahan yang sama tak terulang. Tentang mengapa itu bisa terjadi, tentang apa yang mesti dilakukan. Bukan tentang siapa yang paling salah, dan bukan tentang ‘kok bisa-bisanya sih dia melakukan kebodohan itu?’. Sebab orang yang terlalu ribut mencari siapa yang mengunci pintu yang sebelumnya terbuka, sering kali terlupa kalau ada pintu lain yang tak terkunci. Sebuah pintun yang kemudian  memungkinkannya meloloskan diri dari gedung pengap itu.

Punishment memang perlu. Sebagai reminder. Sebagai jalan perbaikan. Maka, karena tujuannya baik itulah sudah menjadi sebuah keharusan kalau itu dilakukan dengan baik-baik pula. Sebab memang tak ada kebaikan yang ditempuh dengan cara tak baik, sama seperti halnya tak mungkin ketakbaikan berubah menjadi kebaikan hanya karena ditempuh dengan cara-cara baik. Hingga, jika kita ingin si bersalah tak melakukan lagi kesalahannya, maka cara-cara seperti mencaci dan menggoblokkan sudah pasti tereliminir demi melihat tujuan tadi. Karena, selain ia belum tentu mampu memperbaiki kesalahannya, cara itu sudah barang tentu menggoreskan satu luka di hatinya. Luka yang mungkin butuh waktu lama untuk menyembuhkannya.Bahkan akan mungkin terpendam. Terpendam untuk bisa mencuat kapan saja.

Maka benarlah apa yang diucapkan ust Umar Mitha dalam tausiyahnya Ramadhan lalu; Kau jangan sedih saat orang tak menyukaimu karena kebenaranmu. Tapi sedihlah saat orang tak menyukaimu karena akhlakmu.

Ah, semoga akhlak bagus kita, turut serta mengiringi kebenaran kita,

Wallahu a’lam

19 sept 2010

Pinggiran Raden Saleh

 

 

19 comments:

akuAi Semangka said...

Wah, bahasannya lumayan pas neh dgn atmosfer di MP akhir2 ini.

Izin share yaa! ^^

iqbal latif said...

Ada bahasan apa memang?? perasaan 'aman2 saja'...

ok ok!

akuAi Semangka said...

Ada isu yg cukup heboh lagi (di jaringan kontakku). Ah, tapi biasa aja sih sebenernya. Ntar juga adem sendiri.. Gitu deh kalo terlalu ngbawa perasaan ke dunia maya. Ada masalah dikit langsung heboh..

iqbal latif said...

ho ho...kalau jaringanku itu-itu saja memang sih

Lani Imtihani said...

tapi punishment tidak efektif dalam menimbulkan efek jera apalagi merubah..kenapa tidak pake tinjauan positif aja..

*cie...dr pinggiran raden saleh..si langit birukah??atau bintang? :))

Haya Najma said...

:D

iqbal latif said...

@lani...kok bs? (ho ho..kali ini sdkt damai)
btw, langit biru it milik pemprov kaltim kah? namanamanya pakai kotakota d kaltim n lbh murah utk pemilik ktp kalt

iqbal latif said...

@dysisphiel...ketawa dy! he he

akuAi Semangka said...

@mba Lan
Sebenernya solusi yg tepat utk memberikan efek jera seseorang yg berbuat salah tuh gimana (dari sisi psikologis)? Kalo secara hukum kan kita mengenal hukum adat/sosial tuh..

desti . said...

hmm,,,hmm,,hmm, yg bener blm tentu bener, yg salah belum tentu salah.

iqbal latif said...

Hayo..desti bisa njawab juga pertanyaan ai, tuh! Sama-sama orang psikologi....

kalo orang bilogi kayake njawabe: karena hukum alam, dan kesetimbasngan ekosistem yang terganggu.......

kalo saya : sesuai dg hukum aksi-reaksinya newton....maka...

:D

akuAi Semangka said...

Haha.. Betul betul
hukum alam lebih adil dibanding hukum manusia.

Nb: Yang bisa jawab silakan aja.. Trims.

desti . said...

klo teori c gini : efek jera tiap orang beda-beda, jadi idealny sebuah punishment harus disesuaikan dengan kepribadian/latarbelakang masalah orang yg mau di punish itu. misal anak kecil buandel, trus dia dimarahin di depan kelas, trus dihukum di depan teman2. apakah itu membuat jera? bisa tidak. karena bisa jadi si anak bandel ntu justru melakukan kebandelan karena ingin diperhatikan (sebagai imbas karena dikeluarganya kurang perhatian), dengan hukuman di depan teman-teman dia akan semakin senang untuk bandel, karena banyak yang memperhatikan. si anak tidak butuh hukuman, dia butuh perhatian. perhatian bisa diberikan dengan cara yang lebih baik. sebelum punish harus dicermati betul mengapa ia melakukan hal-hal yang mengakibatkan dia dapat punishment. boleh jadi dia belum faham. nah aku juga setuju dengan Mbak Lani, tinjauan positif, nah klo ini Mbak Lani aja yg ngejelasin praktek lapangannya.

allahu'alam

Lani Imtihani said...

siiippp..makasih desti :))

sebenarnya punishment dan reward sama2 dibutuhkan untuk memotivasi seseorang menjadi lebih baik..hanya kalau punishment merupakan bentuk reinforcement yang negatif, walaupun kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi.

Tapi aku lebih menganut teori psikologi positif..which is..teori ini menganggap bahwa manusia mempunyai potensi positif, maka yang "diopeni" adalah potensi positifnya..kita tidak melirik ke negatifnya orang itu..nah, untuk merubah perilaku ya berfokus ke perilaku positifnya..misal, anak,,satu kali tidak mengganggu adeknya maka dia langsung dipuji ma ibunya..nah itu artinya dia dapat reinforcement positif..nanti pada si anak akan mengasosiasikan kalau ketika dia berbuat baek pada adeknya maka dia akan mendapat pujian dari ibunya, jadi dia akan mengulang perbuatan positif itu
di kantor misalnya,,penerapannya di sistem bonus..atau kenaikan penghasilan yang dikaitkan dengan unjuk kerja seseorang..artinya..orang yang suka bolos ya tidak diturunkan penghasilannya, tapi yang unjuk kerjanya baguslah yang dinaikkan penghasilannya..
(IMHO)

akuAi Semangka said...

makasih jawabannya yaa mbak-mbak-kuw. hehehe...

Katerina * said...

Thanks for share pak Iqbal.

Tulisan yang bagus untuk direnungi. Hmm..saya tak sanggup memberi masukan berarti, tetapi mencermati kalimat awal pada tulisan ini, saya jadi bersemangat untuk menjadi benar (bukan memaksa agar kesalahan dibenarkan) jika seandainya berada pada posisi salah. Benar bahwa saat seseorang berada posisi salah, bisa jadi dia bakal berbuat benar karena dia belajar dari kesalahannya itu lalu berupaya agar tak kembali menjadi salah. (meskipun kemungkinan tak dianggap benar juga ada karena ada pandangan seolah-olah sekali salah selamanya salah). Mudah2an saja sikap mengkambinghitamkan ini tidak terjadi. Kalaupun terlanjur, sesegera mungkin disudahi. Pernah juga sih mengalami dua posisi tsb, menyalahkan dan disalahkan. Tetapi itu tdk pernah berhasil menyelesaikan masalah, yang ada "lelah". Disaat lelah itulah muncul kesadaran, "kenapa tidak ikhlas saja?". Atau mengalah (meskipun salah atau benar). Dalam masa diam itu, akan memberikan ruang pada maaf, juga kesembuhan atas luka/kecewa (atas masalah yg terjadi). ada evaluasi....

Dan mencemooh (bahkan ditambahi dengan sikap dan kata2 kasar), hanya akan menenggelamkan si bersalah kpd perbuatan yg itu2 saja. Ruang berfikirnya yang keruh tak akan menjadi jernih. Bukan "dingin" yang dia dapat, tapi malah menjadi "api", sebab caci maki seolah kipas kencang yang mengarah ke hati. Seperti halnya menjauhi/meninggalkan seorang pendosa, sama artinya kita makin membuat mereka terus berbuat dosa jika tak kita dampingi/peringati... pendekatan dgn hati, lembut dan continue...akan menjadikan pribadi yang salah berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya...

yeah...people change everyday. Start not to judge him/her, because you'll never know....
sesuatu yang mutlak dan absolut, hanya milik-NYA. Esok atau lusa mungkin seseorang akan menjadi ummat yg paling dikasihiNYA jika DIA berkehendak.

*maaf kepanjangan. it's just my simple think :)

sf.lussy dwiutami said...

mau punishment atau reward, yg jls saat memilih utk menjatuhkannya kita harus menyampaikan juga alasannya. Biar yg dikenai salah satu dr kedua hal tersebut lbh ngeh, apa yg harus dia lakukan selanjutnya. Penjatuhan reward atau punishment tanpa membangun pemahaman didalamnya, hanya menimbulkan efek yang temporer saja.

Punishment pilihan terakhir utk merubah perilaku (behavioristik banget) seseorang, tapi nyatanya ini sering dipakai. Alasannya adalah orang lebih mudah berubah kalo "ditakut2i" drpd "diiming2i" kesenangan. Mslh hukum2an, sy pernah tuh nulis ttg itu. Silahkan diintip jk mau... Hehe

*jadi serius dah nih komen :D*

iqbal latif said...

ho ho... yg komen berbobot semua nih...
yg nulis blog malah g tahu mau komen balik gmana....

pesan di ats kan salah satunya ini : jika bertujuan untuk sebuah perbaikan, maka caranya pun harus baik pula.....

termasuk masalah punishment td!! baik buruk ini mungkin relatif, tergantung orangnya tadi. Tergantung sikon. Tergantung intensitas.

deraisa deraisa said...

yang penting si pesakit atau si pesalah, tidak salah tanggap bahwa sikap kita yang sebetulnya tidak membenarkan dia malah dianggap membenarkan atau dianggap sebagai dukungan kepada dia bahwa yang dilakukan itu tidak salah.