Wednesday, September 29, 2010

Masjid UI, TM Bookstore, dan bakso Lapangan Tembak

kalau anda terjebak di postingan ini, pastikan anda telah membaca postingan saya sebelumnya. Sebab ini kelanjutan dari sebelumnya. Hanya tentang pengalaman saya ke jakarta. Dan, dengan sangat berat hati, saya nyatakan kalau tulisan ini nggak ada pentingnya sebenarnya. Hanya karena permintaan dari beberapa pembacalah yang kemudian saya tergerak untuk menuliskannya. Itung-itung buat latihan nulis


*******

Selesai sholat dhuhur di masjid UI, kami kembali berjalan melalui rute yang sama dengan berangkat tadi. Saya tak bisa berbohong kalau saya suka rutenya. Trotoar yang nyaman dan dahan-dahan yang merindangi cukup membuat saya nyaman untuk menyusurinya meski di siang hari sekalipun. Apalagi, kala itu, dibantu cuaca yang sedang mendung. Klop sudah.

Beberapa menit saja kami jalan, ketika pada akhirnya sudah sampai di ‘pintu gerbang’ untuk kami kelauar dari kawasan kampus. Melewatinya. Kemudian, berganti menyusuri jalanan yang terbilang sempit dengan kanan-kiri (atau kanan ya? Lupa) pemukiman penduduk.  Entah sudah berapa lama saya tak berjalan menyusuri rute seperti ini. Menghindari becekan, melangkahi jeglongan . Ah, berjalan memang selalu memberi banyak pelajaran.

“Toko bukunya ada di mall itu!”, teman saya mengarahkan mukanya ke sebuah bangunan tinggi di depan kami. Saya, hanya mengikuti arah pandangnya tanpa perlu menyahuti ucapannya. Masih terus melangkah.

“Lantai berapa?”. Baru saja, adalah pertanyaan saya ketika kami sudah sampai di lantai pertama. Lantai pertama dari yang kita jejaki. Teman saya hanya tersenyum. Mengedikkan bahu. Saya paham, ia juga belum pernah ke sini. Mengetahui lokasi TM Book Store pun dari internet. Hampir tiga tahun di jakarta, ternyata memang tak membuatnya tahu banyak tentang jakarta. Tapi lumayan, setidaknya sampai saat itu, dia adalah guide yang baik.

“Tanya satpam saja nanti”, lagi-lagi ucap saya ketika kami sudah ada di eskalator.

Tapi ternyata tak perlu tanya. Akhirnya, papan petunjuk yang tiba-tiba terlihat sudah cukup memberitahukan. Sebuah arah.

Toko buku itu tak terlalu besar. Belum memasukinya saya sudah bisa mengetahui besarnya. Hanya kaca-kaca transparan yang membatasinya dari luaran. Besarnya, kalau boleh saya bandingkan, sepertinya seukuran dengan Togamas DTC Surabaya. Jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan Gramedia Matraman, toko buku pertama yang saya jujuki ketika sampai di jakarta, semingguan sebelumnya. Tapi mendingannya, di sini ada diskon. Hal yang tak ditemui di gramedia matraman.

Kami pun masuk. Tentu, setelah menitipkan ransel di penitipan. Menukarnya dengan sebuah kartu. Lalu, segera menuju deretan buku-buku yang masih saja memesona.

“kamu mutar-mutar saja nyari buku. Aku ambil buku terbuka dan nyari posisi duduk yang enak”. Saya tersenyum mendengar penuturan teman saya ini. Tetap saja, dengan ukuran tubuh yang di atas rata-rata itu, ia masih seperti ketika kita jaman kuliah dulu: susah diajak jalan.

Tak ada yang spesial dari toko buku ini selain masalah diskon tadi. Pelayanannya biasa-biasa saja, jauh apabila dibandingkan dengan yang saya terima di Gramedia Matraman. Tak ada yang sibuk menawari tas belanjaan meski saya kerepotan memegang buku belian. Sepertinya, petugasnya pada sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Di sini, saya menemukan novel pakistan yang pernah saya cari-cari, nemu juga ‘Janji Lelaki’nya Pro-u, serta nyicil beli tafsir Ibnu Katsir. Serta yang lain. Dan, lagi-lagi, jebol lah pertahanan saya untuk tak beli buku banyak.

Menuju kasir, menggesek atm, melangkah keluar. Sempet ternginang-ngiang akan nominal yang telah saya kelujarkan untuk pembelian buku ini. Dan, hei! Ada penyampulan gratis.

“Yang harga 25.000 ke atas, ya, mb?”, ini hanyalah pertanyaan retoris saya tentang persyaratan sampul gratis tadi. Sebenarnya sudah jelas tertulis, sampul gratis untuk buku seharga 25.000 ke atas setelah diskon.

“iya, mas”

“boleh saya tinggal makan? Saya makan di sebelah ini”, ini sebenarnya permintaan yang retoris juga. Tak mungkin ia menolak. Apalagi hanya sekedar ditinggal untuk makan di sebelah toko buku itu.

“iya! Iya, boleh”, sahut petugas penyampul sambil tersenyum. Tangannya cekatan menyambut buku yang sartu persatu saya keluarkan dari tas kresek. Saya harus memilah mana yang dapat fasilitas sampul gratis mana tidak.

Bakso lapangan tembak, demikian nama tempat makan di sebelah toko buku itu. Sebenarnya saya malas makan di tempat-tempat franchise macam begini. Lebih baik cari yang khas daerah setempat. Tapi oleh sebab, ‘kayaknya di sini saja deh biar hemat tenaga’, saya ngikut juga. Sepertinya teman saya sudah kelelahan jalan bolak-balik ke masjid ditambah ngubek-ubek toko buku.

Di dalam, ada beberapa orang menempati tempat duduk. Tak sepi, juga tak terlalu ramai. Ada pula dua orang akhwat-akhwat yang tengah makan di sudut dekat kaca. Awalnya, heran juga. Tak biasa (bagi saya). Apalagi dari penampakannya yang sepertinya masih mahasiwa. Dulu, langganan makan saya pas masih berstatus mahasiswa sepertinya warung-warung sederhana dekat kost, atau kalau pas lagi pingin ya tahu thek yang kebetulan lewat, atau paling banter nasgor  tenda sepanjang jalan. Tapi, ah, mungkin inilah jakarta.

Mencari tempat duduk. Dan memang, sudut dekat kaca itulah yang sempurna. Ada lalulalang kendaraan yang bisa diindera. Dulu, teman sekamar saya selalu memilih tempat duduk dekat kaca seperti ini tiap kali ujian. Alasannya sederhana: “kalau lagi buntu bisa nyari inspirasi melihat luar”. Saya, kala itu, diam-diam meniru caranya.

Sepertinya ini kali kedua saya makan di Bakso lap tembak ini. Kalau tak salah, yang pertamanya di bandara sepinggan. Pulang dari tarakan kala itu, menunggu penerbangan lanjutan ke Bontang. Saat itu pesan mie ayam bakso. Standar saja. Sebab hanya itu saja yang saya suka, sepertinya. Dan, di jakarta ini, pada kesempatan kedua ini, oalah, lagi-lagi mie ayam bakso itulah pilihannya.

Beberapa menit terlewati sampai makanan itu datang. Selanjutnya, tak terlalu banyak yang bisa diceritakan. Makan, ngobrol pekerjaan, ngobrol politik sedikit (demi melihat poster pak Nurmahmudi), ngobrolin teman. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi.

Saya bangkit dari tempat duduk, mencoba mencari kasir. Dua orang akhwat yang lebih dulu datang nampak belum beranjak. Mungkin betah, mungkin makannya lama, atau mungkin untuk alasan norak ini : ‘mumpung beli di sini, dilama-lamain saja..lumayan kursinya empuk J’. Tapi, hei! Mana kasirnya? Saya melongok-longok ke tempat mbak-mbak petugas tadi mengeluarkan pesanan kita. Beberapa petugas  di situ melihat saya tapi tak satupun berinisiatif untuk melayani. Sepertinya bukan di sini, pikir saya. Untunglah kemudian teman saya menunjukkan sebuah arah lewat isyarat mukanya. Ho ho, ternyata di pintu masuk posisinya.

Membayar makan. Kembali ke kasir toko buku mengambil buku yang disampul. Melangkah kelauar kembali ke masjid UI. Tak ada yang istimewa. Standar-standar saja. Baru sejaman kemudianlah membuat saya mengingatnya ingin tertawa. Ha ha. Dari SMS-SMS.


 

56 comments:

Haya Najma said...

*thinking

Diah Pitaloka said...

:))
kaya'nyah ini pengalaman pribadi, suka kursinyah yang empuk,
malah nuduh akhwat2 itu begitu :p

iqbal latif said...

@haya...sdh selese?
@diah..sdh dibilangin ini br kedua kalinya.. yg d sepinggan g empuk kursinya..(kayaknya ada indikasi dirimu mbelain akhwat lap tembak, ya?)

Diah Pitaloka said...

iya yaak?
*padahal kaga' niat ngebelain*
:))
tapi aseli, lucu banget

Haya Najma said...

udah dong,
kesimpulannya, ini catatan perjalanan kan?

akuAi Semangka said...

Jangan heran. Begitulah akhwat2 jakarta. Keren2 *loh? :D

Jadi, siapa yg pesan nasi goreng???

akuAi Semangka said...

Btw soal toko buku, TM masih lebih baik dibanding Gramed Depok (jangan samain dgn Matraman, jauh...)
TM tempat duduknya banyak (ini sangat dibutuhkan oleh orang2 yg hobi baca di toko buku). Kalo di gramed, duduk dekat kaca langsung diusir.
Gramed emang lebih lengkap. Urusan buku2 baru, gramed jg yang terdepan (TM kayaknya telat sebulan), tapi soal diskon TM juaranya. Apalagi kalo dateng pagi2. Makin mahal bukunya, potongannya makin gede. Nah, sisa uangnya bisa buat makan (di bakso Lap Tembak). Jadi mahasiswa tetap bisa berhemat ^^

iqbal latif said...

apanya yg lucu, yak?? (--yak?? ha ha...kayak orang jkt sj---)

iqbal latif said...

lebih tepatnya diari dodol pria pelancong...he he (*g juga sih)

iqbal latif said...

akhwat lapangan tembak kayake

iqbal latif said...

wah, desti ikut2an...setidaknya dulu batagor, dest! Bukan BLT...


*g jelas

iqbal latif said...

ini komen tendensius juga...kayake ngebelain akhwat lap tembak juga...


*kalau di surabaya itu ada toga mas sama Uranus yg ngasih diskon gede... Ada juga tk bk islam Media idaman.... BTW, TM bookstore itu kpanjangan Toga mas bookstore kah??

desti . said...

h? lagi ngomongin apa c pak? --a

itu tanda bintang cuma buat nandain, klo ni tulisan belom selese dibaca cz panjang,, hehe

iqbal latif said...

ho ho...ada aturan gt ya?? bintang sbg tanda tak selesai.....


*lbh baik g usah dilanjutin saja

akuAi Semangka said...

Sampai sekarang ga tau TM itu kepanjangan dari apa. Haha. Dudulz. Eeh, tapi jangan2 memang Toga Mas. Wews! :o

Nggak tendensius sbenarnya. Hanya itung2an mhs. Justru aku merasa kasian dgn akhwat2 lap tembak itu yg dideskripsikan dgn tendensius dalam tulisanmu.
Dan sepertinya, akhwat lap tembak itu ga makan nasi goreng. Entahlah... :D

antung apriana said...

udah selesai ya ceritanya?

desti . said...

enggak c, itu tanda buatanku sendiri hehe..

komen beneran : di Jogja TogaMasny juga ad penyampulan gratis, klo lagi rame bisa 30menit lebih ngantri nunggu nyampulin.

Diah Pitaloka said...

kaga' ada yang mesen
:D

Diah Pitaloka said...

orang yang "taktahukasir"
:))

Diah Pitaloka said...

salah tuh, harusnyah diari pria dodol pelancong
:))

iqbal latif said...

eh, ada yang ngaku duduls! :)

lo! darimana dikau tahu kalo dia(h) g makan nasi goreng?? kok kok

iqbal latif said...

sudah selesai! mw dilanjutinkah?? kalo ada oermintaaan sy lanjutin...he he...

iqbal latif said...

kalo di sby... (mikir)...kayake ada juga.. Tapi g yakin


kalo dr diskonnya sih TM bookstore ini kayake togamas..programnya sama dg togamas petra sby.. Diskon 15 %nya juga sama

iqbal latif said...

jadi dia(h) g pesen nasgor ya, kala itu??

iqbal latif said...

selera humor orang jakarta rendah sekali ya ternyata.....



*ternyata, ada saudara muslimnya kebingungan dibilangin lucu :)

iqbal latif said...

kayake g tepat, diah! di komen atas2 sdh ada yg ngaku duduls tuh...

akuAi Semangka said...

Memang ada lagi yg mau dilanjutin? Sehari di jakarta sudah punya banyak cerita neh... Haha.

"Entahlah" itu jawaban atas ketidakpastian. Mungkin iya mungkin nggak. Yang pasti kalo diah ga makan nasi goreng siang2. Kalo dia(h), entahlah :p

iqbal latif said...

tragedi sabtu pagi belum diceritain... :D

Diah Pitaloka said...

dia(h) itu siapa?yang mana?:p

Diah Pitaloka said...

soalnyah jarang2 ada yang kebingungan gt
biasanyah si selera humornyah tinggi
*nyengirlebar*

Diah Pitaloka said...

siapa?*nyari2*

iqbal latif said...

sebelum diedit, nih tak copikan:

akuai said
Sampai sekarang ga tau TM itu kepanjangan dari apa. Haha. Dudulz. Eeh, tapi jangan2 memang Toga Mas. Wews! :o

akuAi Semangka said...

Wah, iya. Padahal itu crita penting yg seharusnya ditulis.. Okeh, lanjutkan! :D

iqbal latif said...

yang mana ya? kok jadi bingung sendiri...

Diah Pitaloka said...

si Ai ada2 ajah
masa' TM jadi Toga Mas
klo emang itu toga mas, ya ditulis ajah toga mas
masa' beda2?:))
*Ai beneran dudulz ternyatah*
*kaburr*

iqbal latif said...

bukan jarangjarang, saudari! tapi engkau saja yg lalai untuk menangkap kebingungan mereka. Pekalah!



:)

Diah Pitaloka said...

*mo nyoba2 ngomel lg yaak?:p*

kan tergantung siapa yang kebingungan, klo ikhwan mah bodo amat :p
*jahat*

Aida Hani said...

oh, lagi di Jakarta... selamat datang, Pak Iqbal... sampe kapan di Jakarta?

iqbal latif said...

aduh, aida! itu minggu lalu...

sekarang sdh menyelinap di pedalaman lagi... :)

Aida Hani said...

iya ya? ternyata saya terlambat bacanya... :D

iqbal latif said...

aida daerah mana??


*padahal kalau disebutkan juga belum tentu tahu juga itu dimana*

Diah Pitaloka said...

eh, jangan ditanya2
Aida bentar lagih mo walimah
:))

*kaburr*

iqbal latif said...

sudah tw! :)

ha ha

akuAi Semangka said...

Kalo diah blum nikah om.... :D

iqbal latif said...

iya kah?? :D

Diah Pitaloka said...

Ai juga beloman
:0

akuAi Semangka said...

*angguk2mantap*

Mau kuulang pertanyaan waktu bahas orang kediri tak? Hehe...

iqbal latif said...

@diah... sudah twlah!

@ai...diulang? perasaan nggak ada apa-apa

akuAi Semangka said...

berminat? :D

iqbal latif said...

apa??
jiah, kok sekarang mbahas ini, sih!

akuAi Semangka said...

Yunowla....

Diah Pitaloka said...

:))
*deuh,komen di atas, ngapain si?*

iqbal latif said...

dirimu yg mulai...

Diah Pitaloka said...

*nyengir*
maap

Pemikir Ulung said...

Sukaaa. Suka sekali baca tentang daerah jajahan saya dari 'mata' orang lain

ah, kalo saya ga peduliin pelayanan tm mas, kayanya sama aja dgn gramed di seberang, yg penting diskon. Hehe. Apalagi kalo belinya pagi2, bisa dapet diskon 25% senang sekali. Jasa nyampulnya rapi, meski saya ga pernah nyampul disana. Biasanya orang2 pada nunggu bukunya disampul sambil duduk berjejer di depan bakso itu

iqbal latif said...

uow, iya, memang kasus tertentu memang begitu... Yg penting harganya