Saturday, September 11, 2010

Si Rama yang memperkenalkanku pada Laila

-terimaksih kepada seorang akh yang mau berbagi cerita hingga aku bisa menuliskannya-

*******
Ia datang sekitar sebulan yang lalu. Mengetuk pintu dan kutemukan wajah menyenangkannya menyeruak di balik pintu. Kemudian, tersenyum lama dan menjabat tanganku juga dengan durasi waktu yang tak kalah lama. Ia memperkenalkan dirinya, lagi-lagi, dengan nama yang dulu-dulu ; Rama. Saat itu ia datang di sebuah maghrib.

Sejatinya, aku tak perlu terlalu terkejut atas kedatangannya. Sebab memang tak mendadak. Sesuatu yang sudah terencanakan tak pernah mendadak, kan? Jauh-jauh hari aku sudah tahu dia bakalan datang berkunjung lagi. Lagi, sebab memang ia berkunjung setahun sekali dan akan menginap dengan jangka waktu yang sering kali segitu-gitu. Bahkan, di jalan-jalan sudah sering kali kutatap spanduk-spanduk berisi ucapan sambutan. Baliho-baliho dengan sepasang wajah asing juga terjajar rapi di pinggir jalan, juga menyampaikan sambutan yang sama. 

Yang membuatku terkejut, atau salah tingkah, adalah ketika aku menyadari bahwa aku tak cukup mempersiapkan apa-apa untuk menyambut kedatangaannya. Serutin apapun kedatangnnya, ia tetaplah tamu istimewa yang hidangan istimewa juga lah mestinya sebagai jamuaannya. Tapi lihatlah, oi, rumahku bahkan berantakan dan sama sekali tak mengindikasikan bakal ada tamu penting yang bakal mengunjunginya. File-file kerja masih berserakan memenuhi meja kerja sementara koran-koran bergambar artis dan politikus juga tak kalah semerawutnya di lantai. Bahkan aku hanya menemukan air putih dingin kala kubuka lemari es kecilku. Seperti biasa.

Tapi kemudian, yang membuatku sedikt tenang, ternyata Rama sepertinya tak sedikit terganggu dengan keadaan itu. Ia kemudian masuk begitu saja, duduk di sofa rumahku yang mulai kumal, menatap sekilas, lalu kembali tersenyum. Ia menawarkan sebuah persahabatan hakiki yang sepertinya sulit kutemui tandingannya. Aku tercekat, bahkan hingga lupa mempersilakan air putih yang kuhidangkan.

Ia kemudian mengeluarkan selembar catatannya yang sebenarnya sudah aku tahu apa isinya. Setahun lalu ia juga mengeluarkan catatan itu. Sebuah catatan yang berisi 5 kalimat dari bab kedua dari kitab kami. Ia berhenti sejenak untuk memandangku, kemudian mulai membacanya, menjelaskan maksud dan kandungannya. Aku selalu terpanana mendengar uraiannya.

Begitulah! Mulai saat itu ia resmi tinggal untuk sekitar 30 hari ke depan. Dan akan menyertai kemanapun aku akan pergi. Ia senang dengan kebaikan-kebaikan, bahkan memberitahuku tentang nilainya yang tidak seperti biasanya. Ia menyebutnya dengan tarif premium. Maka kemudian ia membantuku untuk membuat target-target. Tentang daftar surat yang mesti dihafal, tentang berapa lembar dari Al-Qur’an yang mesti dibaca tiap harinya, tentang qiyamul lail, tentang infaq. Dan oi, ajaib, di awal-awal ia datang itu, aku seketika terlecut. Seketika berserba cepat menjemput kebaikan. Bila sedang malas, maka cepat-cepat aku tatap wajahnya yang teduh. Aku tahu, dengan menatapmnya seperti itu, semangatku akan bangkit lagi. Tapi kemudian aku kaget, ketika dalam puncak itu, ia menegurku dengan teguran yang menghentakkan, ‘jangan bersemangat karena aku, Akhi! Bersemangatlah karena dzat yang mengutusku!’

Ketika aku berangkat kerja, ia pun mengikutiku. Membonceng di motorku dan mulai membisikkan kalimat ini, ‘kau bisa bermotor pelan-pelan sambil murojaah Al-Qur’an’. Beberapa kali aku menurutinya namun banyak juga yang tidak, hingga kemudian tujuh hari terlewat. Oi, apalagi yang mesti aku katakan. Rutinitas itu memang kadang membunuh. Dan aku benci mengatakan ini; kedatangannya telah aku anggap sebagai rutinitas. Tujuh hari terlewat dan aku mulai menganggap kedatangannya sudah menjadi biasa. Aku melakukan ini itu karena memang ini itulah yang harusnya dilakukan kala ia datang. Tak ada greget lagi, tak ada kesan mendalam, tak ada pengalaman-pengalaman spiritual yang menjejak. Entahlah! Bukan karena aku tak menghormatinya lagi tersebab kewajiban melayani tamu itu hanya ada di tiga hari. Tidak! Aku melayaninya, menghormatinya, meski dengan kadar yang kusebutkan tadi.

Aku mulai  tertekuk-tekuk kala ceramah disampaikan, aku terkantuk saat sholat delapan rokaat ditegakkan. Sebenarnya aku berargumen kalau aku kelelahan akibat kewajiban seharian, tapi ia tak terima, memandangku tegas, ‘tidak, Akhi! Kau bisa saat kau ingin’. Kemudian ia menyarankanku untuk mencari masjid lain esok harinya. Mungkin suasana yang beda akan mengurangi tingkat rutinitasnya. Akupun setuju. Mulai merencanakan masjid mana saja yang bakal aku kunjungi. Esoknya, aku sadari kalau sarannya sedikit ada benarnya.

Dua puluh hari terlewat dan aku tahu tinggal sepuluh hari lagi ia tinggal. Aku tercekat. Ia, masih saja telaten mendampingiku mengevaluasi apa-apa yang telah aku lakukan. Membandingkannya dengan daftar targetan yang sudah kita susul di awal dulu. Maka kemudian inilah faktany; betapa banyak ketimpangan. Aku malu, tak berani lagi menatap wajahnya yang menenangkan. Segan bahkan untuk sekedar menyebelahi duduknya. Tapi, lagi-lagi ia menenangkan, ‘belum terlambat, Akhi. Masih ada sepuluh hari’. Dan ia kemudian mengajakku berlari. Lari yang dipercepat. Sangat cepat. Meski belum juga berruh. Aku tak tahu kenapa. Aku tak tahu kenapa belum juga.

Hingga hari jumat sore itu. Malam ke-25. Ia mentausiyahiku panjang. Ia menasehatiku lama. Ya, hari itu hari jumat. Esok libur. ‘kau mesti tinggal di masjid ini, Akhi! Akan lebih banyak waktu untuk merenung, akan lebih banyak waktu mendekat, akan lebih banyak kesempatan berbuat’, demikian sarannya. Aku menggangguk dalam ragu. Tapi mau tak mau segera aku berbenah, menyiapkan ransel untuk keperluan, lalu mendaftar ke panitia.

Maka dimulailah malam itu. Itu mungkin menjadi tilawahku terlama sejak ia datang. Aku bersyukur ia masih setia mendampingi. Jika lelah aku berhenti sebentar, mengisinya dengan kegiatan lain, lalu tilawah lagi. Dan ia tanpa bosan terus menyemangatiku. Malam telah larut dan aku masih terjaga. Duhai, apa pula yang menggerakkan ini jika hari-hari di belakang, di waktu yang normal untuk terjaga, bahkan untuk selembar saja butuh pergulatan. Duhai, apa pula yang menjalankan ini bahkan kasur-kasur empuk nan hangat sengaja ditinggalkan. Duhai, kekuatan macam apa ini. 

Hingga aku tak sanggup lagi. Tiba-tiba telah ertidur dengan mendekap al-Quran.
Pukul setengah tiga kala itu. Mungkin. Ketika sebuah suara membangunkanku. Auw, ternyata qiyamul lail akan segera dilakukan. Itu tadi suara imam. Seorang mubaligh dari ibu kota. Maka seketika aku terbangun, secepat kilat mengumpulkan kesadaran, bangkit dan segera menuju kamar kecil…

Dan kemudian berdirilah aku dalam barisan itu. Kaki menyentuh kaki. Pundak menggapai pundak. Larut dalam lantunan kalamallah. Hanyut dalam suasana penghambaan. Dan, saksikanlah ya Allah, dalam sunyi itu, kala hanya suara Quran yang menggema, kala semuanya nampak kembali mengecil dalam kebesaranMu, mata-mata mulai berkaca-kaca. Aku bahkan telah lupa kapan terakahir kali aku menangis dalam momen seperti ini. Tidak! Aku tidak tahu benar maksud dari yang kudengar. Aku tak paham. Aku hanya mendengar kata ‘naar’ disebut, maka itu tentang neraka. Maka aku mengecil seketika, menjadi tak berdaya serentak. Menjadi hamba. Lindungi kami dari api neraka, ya Allah!

Oi, betapa mengherankannya, bukankah untuk tarawih saja mata sudah sedemikian berat, mengapa tidak untuk di dini hari ini. Oi, bukankah untuk 45 menit tarawih tadi sudah demikian berat, mengapa tidak untuk waktu yang dua kali lipat ini.

Ya Allah, bersihkan hati kami dari riya’.. Potongan doa itu kemudian yang kumengerti dengan jelas dalam qunut panjang itu. Ouw, kau segera ingat orientasi-orientasi ngawur ibadahmu, sadar akan sikap diperbuat-buat demi pandang orang-orang di sekelilingmu. Ouw, air matamu mulai menderas. Menderas.

Ya Allah, bersihkan hati kami dari nifa’… ouw, apa kau mulai merasa sesak dan cairan kental mulai hendak keluar dari hidungmu.

Ya Allah, jadikan anak cucu kami ahli Qur’an- tiga kali diulang. Apakah itu cukup sudah untuk membongkar karang di hatimu. Melumerkannya selumer-lumernya. Lihatlah, lihatlah kau yang mulai jorok. Bukankah ingus itu sudah berleleran tak tertahankan. Bukankah air mata itu telah menyentuh jenggot tipismu. Menghangatkan pipi-pipimu.

Kau mesti bertanya, kau mesti bertanya ini air mata untuk siapa?? Pertanyaan yang harus kau sendiri menjawabnya.

Selesai!

Kemudian ia mengahmpiriku. Ah, ia sungguh-sungguh cerdik. Saat-saat seperti inilah memang saat hati manusia begitu terbuka menerima hidayah.’kau berniat untuk melanjutkannya hingga hari ke-30, kan?’, tanyanya. Dan aku mengangguk. Anggukan yang serta merta menyemangatinya untuk memberi penjelasan lainnya.

‘Kau harus bisa mempersunting Laila!’. Sergahnya

‘Siapa dia, apa kah dia saudaramu?’

‘Entahlah! Aku tak bisa menjelaskan hubungannya. Dia akan selalu datang tiap kali periode aku datang’

‘Apakah ada hal yang istimewa hingga aku harus mempersuntingnya’

‘Begini’, ia menatapkulekat,’jika ada 1000 Laila lain dijajarkan dan bergabung potensinya menjadi satu, niscaya itu masih lebih istimewa dibandingkan Laila yang kusebut tadi’

Aku ternganga..

Menjalani malam-malam dingin. Malam ke-26, ke-27, ke-28, ke-29, dan…hingga tibalah di penghujung itu. Malam ke-30. Duhai, apakah yang kau rasakan di malam itu? Apakah yang menghentak-hentak tak terganggungkan kala itu? Apakah yang mengalir di akhir qiyamul lail itu? Itukah penanda sebuah perpisahan dengan bulan yang dikasihi itu? Rasa kehilangankah itu?? Rasa kehilangankah itu? Rasa kehilangankah itu? Atau penyesalankah itu? Atau tidak untuk sebuah apa-apa.

‘Kau harus segera sahur, Akhi.’ Ia menyadarkanku.

Dan inilah, hari terakhir. Siang terakhir. Bahkan aku belum juga menyelesaikan 30 juz Al-Qur’an. Buruk sekali. Terburuk dari yang sudah-sudah (-itu kalau standarmu tentang 30 juz itu-).

‘Kau bisa mengahatamkan hari ini juga. Bukankah hari ini hari libur dan kau lebih luang untuk tilawah’, ia, si Rama,  kembali menenangkan.

Maka ia masih setia menemani bahkan di hari terakhir ia berada. Setia menemani tilawah di waktu dhuha. Setia menemani menghabiskan juz 29 di ba’da dhuhur. Juga setia menemani menghabiskan juz 30 di ba’da ashar. (-apakah kau masih ingat, apakah kau masih merasakan apa yang kau rasakan di tiga surat terakhir itu. Sejak kapan itu menjadi surat yang begitu dasyat? Bukankah itu surat yang ‘remeh-temeh’ yang bahkan sudah kau hafal sejak kanak-kanak? Lalu sejak kapan itu tiba-tiba menjadi begitu menggetarkan? Apakah karena perpisahan itu? Apakah karena akhir dari tilawahmu itu, dua tiga jam lagi juga bakal menjadi akhir dari sebulan ini. Maka teteskanlah air itu jika memang tetesan untuk dzat yang menjadikan hidup-)

Inilah kemudian berbuka terakhir itu. Merenung dalam. Renungan di akhir sholat maghrib itu. Terduduk lama dan tak juga bangkit. Malas untuk melanjutkan berbuka dengan yang berat. Ingin memeperlama duduk ini.

“Aku harus kembali, akhi’, ia mengagetkanku, ‘tapi percayalah, aku akan kembali. Mengetuk pintumu kembali. Menjabat tanganmu kembali. Membersamai tiga puluh harimu lagi. Senyampang kau masih bersahabat dengan Iman. Sebab ke setiap  yang bersahabat dengan Iman lah aku wajib mengunjungi.’

Aku tergugu.

‘Tentu saja jika tahun depan kau masih hidup. Tentu saja jika tahun depan kau masih diberi kesempatan oleh Sang Maha Hidup. Ah, jikalau kau tak diberi kesempatan itu, semoga Dia menggantinya dengan yang lebih baik. Ke sebuah tempat kembali bagi orang-orang yang dicinta. Ke sebuah tempat terbaik untuk kembali. ’

Aku masih tergugu dalam. Lama. Hingga kusadari ia telah memelukku erat. Sebuah pelukan khas perpisahan. Menepuk-nepuk punggungku yang tergoncang. Lalu pelan membisikkan, ‘ayo cepat bangkit! Buktikan kalau kau generasi rabbani, bukan generasi ramadhani. Cepat ambil ponselmu! Cepat hubungi keluargamu! Mereka juga punya hak atas dirimu. Besok sudah lebaran, kan? Dan sekali lagi kau telah memutuskan untuk tak membersamai mereka’

Maka maghrib itu, waktu yang sama dengan pertama kali ia datang, aku mengantarkannya pergi. Menjabat tangannya lagi, memeluknya lagi, menyentuh jari jemarinya yang sebentar lagi melesat. Tapi tunggu! Oi, sebelum melesat, ia masih sempat berbisik, ‘apa kau telah menjumpai Laila? Ia mempesona bukan?’.

Aku tersenyum malu. Mungkin aku telah mencintainya. Entahlah.



46 comments:

Sukma Danti said...

bagus euy... saya menyadari ini bercerita tentang bulan ramadhan pada paragraf ketiga.. :D

iqbal latif said...

baguslah kalau di paragraf tiga...bukan di paragraf terakhirm :)

Sukma Danti said...

Hehe, soalna beberapa waktu yg lalu ane bikin puisi yg sejenis ini (puisi, bukan mini fiksi). jadi menduga kira jangan2 sperti punya saya :D

tapi beneran yg ini bagus (^^)d

iqbal latif said...

dan tebakannya benar ya?

Sukma Danti said...

iyah, begitulah... hadiahnya mana? :D

iqbal latif said...

hadiahnya bs minta angpao ke orangtua masingmasing :)

Sukma Danti said...

:D baiklah...

Siska Rostika said...

Suka banget...
Mas iqbal, met idul fitri... Semoga taun dpn kita bs ramadhan bersama lg..

iqbal latif said...

amin. idulfitri masak apa, mb? kali aja menarik.. he he.. lumayan buat rekomendasi utk dikunjungi thn dpn :)

koran pagi said...

waaaaaaaaaaa dah lama tak bersua, apa kabar, baek kan ya, semakin hebat aja neh karya2nya, sukses ya dek, n maap lahir bathin ya

iqbal latif said...

@koranpagi...samasama mb/mas.. Aduh, bahkan gtw lakilaki apa perempuan.. Spirtinya koran pagi lm juga g terbit :)

iqbal latif said...

@koranpagi...samasama mb/mas.. Aduh, bahkan gtw lakilaki apa perempuan.. Spertinya koran pagi lm juga g terbit :)

Siska Rostika said...

Masak yg standar org lebaran aja kok Mas..
Kari daging sapi, opor ayam petelur (soale ayam kampungnya dah pada mudik), soto banjar ala kutai, ketupat ngebut (sebab direbus dipanci presto).
Ya, gt2 deh...hehehe.
Ini mo metik kangkung. Kangen cah kangkung...

iqbal latif said...

ketupat ngebut?ho ho.. asyik juga namanya..

wah, kangkungnya metik sndiri?blh juga.. tp atiati ngantuk hbs makannya. Katanya sih bikin ngantuk. he he

akuAi Semangka said...

Aih, makin kepincut sama laila neh kayaknya? :D

iqbal latif said...

ai,mw tak kenalin? :)

akuAi Semangka said...

Aku jg pernah brcerita ttg laila. Mungkin laila yg sama.

Atau laila yg lain? :D

Lani Imtihani said...

suka..

Rama nemenin aq drumah sakit diwaktu2 kepergianya..sedih..

iqbal latif said...

@ai...sama kali ya? btw, jk pertanyaan terakhir rama ditanyak pd dirimu, kirakira jawabannya apa nih? hehe

@lani..yg pas mkn mnum waktu qt jenguk itu ya?

akuAi Semangka said...

Pesonanya telah terpancar meski aku blum menjumpainya. Ah, mungkin dia pun tak melirikku karena aku buruk rupa. Hiks.

iqbal latif said...

mungkin si laila nyari yg ikhwan kali,ay.. ho ho. G jelas!

Lani Imtihani said...

woo iqbal maen gendeer..masak laila nyari ikhwan aja *nda jelas
emang wkt itu jenguk aq makan minum ta?enggak kyae

iqbal latif said...

@lani...ini komen orang yg dlm pjalanan balik pasti gini.. bawaannya sensitif! mana gendergenderan lagi

Lani Imtihani said...

ah,yg punya tulisan jg lg sensitif pasti :D
iya iya,ni on the way kembali kebtg,tp g sensitif,la wong ibuku ngikut ^,^

iqbal latif said...

eit, ngapain pula ngajak ibu? wong sakit sgitu sj.. :)

akuAi Semangka said...

Mau ngenalin calon mantu yaa mba Lan?

*kabuur!

iqbal latif said...

ha ha..

*si ai sdh berhasil sy tangkap nih,mb! tinggal diapapain

akuAi Semangka said...

Pasti salah tangkap. Om iqbal kan ga tau aku yang mana. Hahaha..

*masih berkeliaran bebas

iqbal latif said...

kalo gt minggu depan sj tak tangkap di gang waspada.. untuk itu, waspadalah! :D

Lani Imtihani said...

yee,,ngiri tu iqbalnya..nengokin tempat tinggal anak perempuannya bal..bkn krn aku sakit ya! :p

pengen liat btg kyk ai pengn liat..bontang tlalu indah dikisahkan ma anaknya ^,^

iqbal latif said...

@lani...eh, apelnya masih banyak tuh! kagak doyan kalo apel....

Lani Imtihani said...

Itu udah serah terima yaa..wajib dihabiskan, karena tanggung jawab ada di anda :D

Iqbal Safirul Barqi said...

Bagus sekali mas!!
menyentuh, mengispirasi!!
tak tahan, jadi malu teramat malu aku membacanya!!

terima kasih.

iqbal latif said...

malu? ah semoga itu pertanda kalau iman itu masih kental? :)

Iqbal Safirul Barqi said...

he eh,,, mudah-mudahan.sebagai bahan instrospeksi untuktaon dpn.
eh enggak ding,, mulai sekarang aja.

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

ah, saya pun mendengar kabarnya ...
katanya Laila itu cantik, ya ... he he he ...

iqbal latif said...

amat! hingga orang2 berlombalomba meminangnya :)

Rifki Asmat Hasan said...

laila telah meninggalkanku....

anas isnaeni said...

Ramadhan dan Lailatul Qadr toooo
analogineeee dahsyat....
huhuhu Jumat malem kemaren perjalanan Painan_Padang....

huaaaaa harusnya ada strategi jitu buat pgawai kantoran bisa optimal di bulan Ramadhan hiks
bagi2 dong, minimal buat Ramadhan pekan depan

...kalau masih ada kesempatan...

iqbal latif said...

@jampang..dikejar, bang!
@nanazh...qt samaan, naz. Tips apa it? (mudik, ya?)

anas isnaeni said...

iyooo tips buat ngantor plus Ramadhan oke gituuuu

ni otw mudik hehehe

iqbal latif said...

Malem i'tikaf, pagi brkt ngantor. Haha..

anas isnaeni said...

tapi ya ituuuuu kadang capeknya itu looo....

i'tikaf di Painan sepiiii
banyak yang lebih prefer langsung ke Padang

ukhti hazimah said...

speechless, mengingat puasa gak bisa total

iqbal latif said...

@nanazh...hehe. Sepi enak, lah! :D
@SInthionk...ada apa? Ada apa? Gbisa totalny krn ada miza?

fajar embun said...

...dan rama akan pergi...sebentar lagi..semoga di tahun akan datang kita kan berjumpa lagi dengan rama...dan memadu kasih dengan laila..