Ego, atau keakuan, memang seringkali membuat seseorang untuk lupa melihat sekitaran. Segala sesuatu yang tak sesuai dengan dengan si aku, akan serta merta menjadi tertolak. Sesuatu itu sudah pasti salah dan sudah tak perlu konfirmasi lagi untuk menyatakannya sebagai sebuah kesalahan.
Ceritanya tentang sewaktu saya melakukan perjalanan dinas ke Tanjung Selor via Tarakan pada akhir maret dulu. Entah karena keberangkatannya yang mendadak, atau karena dasar sayanya tak terlalu suka yang formal-formalan, saya lupa membawa sabuk. Padahal, tujuan dinas kali ini untuk menghadiri Rakorda Lingkungan yang sudash pastilah sifatnya formal. Kesadaran itu datang saat saya sudah tiba di bandara PT Badak, saat menyadari tak ada sabuk yang melingkari celana panjang saya. Saya memang hanya memakai celana dan kaos kala itu. Ujung kaos pun tak dimasukkan celana sehingga seperti yang biasa-biasa, saya tak memakai sabuk.
Saya sempat ‘panik’ sejenak sebelum akhirnya menyadari kalau sabuk itu, bisa saya beli di tempat-tempat persinggahan. Acaranya toh hari selasa dan kesadaran tak memakai sabuk itu terjadi di hari sabtu.
Saya kemudian membeli sabuk di sebuah pusat perbelanjaan di Tarakan. Dan di sinilah masalah keakuan tadi muncul. Setelah melalui proses memilih-milih, plus acara potong-potong sebab sabuknya terlalu panjang untuk perut (ramping) saya, saya menyadari kalau sabuk yang saya beli sepertinya terbalik. Setelah saya pakai, pangkal sabuk yang terbuat sari logam itu terposisi terbalik hingga tak sedaplah untuk dipandang. Terbaliknya, yang posisi harusnya di atas malah di bawah, begitupula sebaliknya. Untuk membaliknya, tentu saja saya harus membalik arah bersabuk saya, dan tentunya itu sangat merepotkan bagi saya yang terbiasa sebaliknya. Saya sempat berpikir kalau sabuk ini didesain untuk orang-orang khusus yang memang memiliki cara bersabuk khusus pula. Sempat bimbang juga hingga akhirnya tak mempermasalahkannya. Toh pangkal sabuk hanyalah berukuran secuil dan masuk kategori tak perlu dirisaukan saat posisinya tak sesuai lazimnya ia.
Kemudian waktu berjalan dan tak ada hal yang istimewa pada sabuk itu. Beberapa kali saya memakainya dan sepanjang beberapa kali itu, rasa-rasanya tak ada yang menegur saya masalah keterbalikan pangkal sabuk itu. Baik-baik saja. Sampai beberapa hari yang lalu.
Saya memang jarang memakai sabuk yang saya beli di tarakan itu, dan lebih memilih memakai sabuk yang diberikan perusahaan. Selain lebih sederhana, secara fungsional sepertinya sabuk ini lebih pas. Tak seperti sabuk yang saya beli di tarakan itu, sabuk ini memilki pangkal yang atas bawah sama hingga tak menjadi soal lah kalaupun terbalik.
Saat itu saya masih dzikir bada sholat dhuhur di musholla kantor. Adalah seorang bapak yang terkenal kocaklah yang pertama kali melontarkan celetukannya. Beliau menyoroti cara bersabuk saya yang terlihat berbeda. ‘kok sisanya ke kanan?’, begitu kata beliau kala itu. Awalnya saya tak terlalu peduli sebab mengira itu hanya gurauannya belaka yang memang kerap kali ia lontarkan. Baru, ketika saya menyadari apa yang disampaikannya benar adanya, saya mulai tertarik.
‘kok sisanya ke kanan?’ tadi menyoroti cara bersabuk saya yang membelitkannya di celana searah jarum jam. Berlawanan dengan arah thowaf. Selama bertahun-tahun memakai sabuk, baru kali itulah saya tersadarkan bahwa justru cara bersabuk sayalah yang ternyata khusus. Lepas diberitahu bapak tadi, saya langsung mengecek cara bersabuk tiap orang di musholla itu. Dan menjadi terperanjatlah saya kala menyadari memang sayalah satu-satunya yang bersabuk searah jarum jam.
Sontak saya teringat dengan acara membeli sabuk di tarakan. Ingin rasanya tertawa mengingat i’insiden’ itu. Kebodohan masa lalu ternyata bisa menyenangkan juga untuk diingat.
Kejadian itu, kemudian mengantarkan saya kepada satu pertanyaan : Apakah saya kidal? Sebab hal yang samalah yang sebenarnya saya sematkan pada calon pembeli sabuk di Tarakan itu. Tapi kemudian tak perlu beberapa detik untuk menjawabnya. Cepat saja. Saya benar-benar normal dan tak kidal. Ke-kanan-an saya benar-benar dominan. Secara fisik saja, tangan kanan saya berukuran lebih besar dari yang kiri, sebab memang tangan kananlah yang lebih dominan dalam urusan kerja. Saya juga menulis dengan tangan kanan, meninju dengan tangan kanan, menggiring bola juga dengan kaki kanan.
Kemudian, selain masalah bersabuk tadi, hanya satu hal saja menunjukkan kekirian saya. Dan itu hanya masalah ngetik SMS di hp. Tapi sepertinya itu tak cukup kuat mengeliminir kekananan saya. Ho ho
(btw, kemarin pagi saya mencoba memakai sabuk dari arah sebaliknya. Hasilnya: sulit! Sudah terbiasa kali. He he)
7 comments:
Kalo biasa pake yg kanan, katanya, yg bekerja cenderung otak kiri
Semoga dimudahkan..
Awalnya nggak kebayang. Untung ada sosok bapak yg kocak itu. Ternyata deskripsi yg njlimet bisa dipahami hanya oleh satu kalimat.
Kita memang perlu menyeimbangkan otak kiri n kanan om. So, lanjutkan!
Kyknya sih gr2 dulu dipakekan sabuk oleh orang lain Mas?
Mgkn waktu awal2 pake sabuk dulu? Sbb kdg kita ni mengikut kebiasaan yg dlu diturunkan ortu ke kita..hehehe..
@ida.. sepertinya memang begitu, katanya juga. pernah denger juga katanya skrg ada yg mengoptimalkan yg otak tengah juga. gtw apa itu
@azurival...amin
ai...apanya yg lanjutkn?gmana tuh cara konkrit nyeimbanglab otak?
mb siska... kemungkinan bgtu mb! janganjngan sy dl gmw dbenerin
Lanjutkan pake sabuk searah jarum jam, ngetik pake tgn kiri, biar seimbang. Jgn hanya mengandalkan otak kanan.. Kalo otak tengah itu utk melihat tanpa bantuan indra mata..
Post a Comment