Saya baru saja keluar dari masjid kala menemukan bocah kecil itu berdiri di halaman masjid dalam keadaan seperti kebingungan. Wajahnya menatap ke dalam masjid tapi ragu apakah akan memutuskan menuju ke sana. Usianya masih masuk kategori batita dan tentu saja saya mengenalnya sebab setahu saya ia seringkali saya temukan di masjid bersama ayahnya.
Tebakan saya kala itu ia sedang kehilangan ayahnya dan sedang mencari-cari lewat pandangnya dari halaman masjid. Saya yang seringkali menepuk-nepuk pelan pipi bocah tersebut kemudian berinisiatif mengajaknya menemui ayahnya. Tapi sial bagi saya sebab ternyata saya agak ragu jamaah yang manakah bapak si bocah ini. Sepertinya saya lebih sering memperhatikan si bocah daripada si ayah bocah. Maka, kemudian saya tawarkan saja pada si bocah untuk mencari sendiri ayahnya sambil saya temani. Mungkin ia dilanda rasa takut berada dalam keadaan sendirian dan kehilangan sehingga masjid yang harusnya sudah familiar baginya menjadi tempat yang asing untuk ia jelajahi. Sayapun mulai hendak menuntunnya masuk kembali ke dalam masjid. Tapi, ternyata ajakan saya kemudian tak berbalas. Si bocah kemudian tetap bergeming. Tak menunjukkan niatan untuk mengiyakan ajakan saya. Dan, saat itulah ia terlihat mulai merengek dengan suara pelan yang memelas. Ada yang tertahan dari suaranya. Saya baru sadar, dari intensitas pertemuan kami yang sering itu, baru kali ini saya melihatnya (akan) menangis.
Untungnya, di saat saya bingung, seorang jamaah lain menghampiri dan mampu mengidentifikasi siapakah gerangan ayah si bocah kecil ini. Dan…aha, ternyata tebakan ragu-ragu saya di awal tadi benar. Ayah si bocah sebenarnya berada tak jauh dari lokasi. Ia sedang berdzikir di serambi masjid dan tentu saja mudah sekali menatap kami yang di luar tersebut. Tapi ternyata, di saat kami ingin memberitahu si ayah tentang keadaan si bocah, ia memeberikan sebuah kode yang membuat kami serta merta mengerti apa yang sedang terjadi. Kami pun memutuskan pergi dan meninggalkan si bocah.
Pembiaran! Ya, si bapak sedang melakukan pembiaran pada si bocah. Saya tak tahu mengapa bapak itu sampai melakukannya dan dengan harapan apa tepatnya bapak itu melakukannya. Hanya, yang saya tahu, bapak itu melakukannya.
Pembiaran! Ya, boleh jadi, itulah cara terbaiknya. Karena, seperti yang dikemukakan Anis Matta dalam Serial Cinta, tidak semua masalah memang harus diselesaikan. Karena memang ada banyak masalah yang justru selesai karena tidak dipikirkan dan tidak diselesaikan.
Dan pada kasus si bocah, bagi si ayah, membiarkannya sendiri itulah mungkin yang dianggap jalan terbaik menyelesaikan masalah pada si bocah. Membiarkan ia melakukan ‘pelepasan’. Perlu ketegaan memang. Tapi menjadi tak apa asal ada keyakinan bahwa si bocah akan baik-baik saja pada akhirnya. Sebab, lagi-lagi menurut Anis matta dalam bahasan yang sama, mekanisme pembiaran menuntut adanya keyakinan dan sedikit ketegaan.
Keyakinan dan ketegaan. Dua itu harus ada. Atau mungkin lebih tepatnya, dalam sebuah pembiaran, harus ada keyakinan dalam ketegaan . Yakin bahwa si bocah akan ‘terselesaikan’ dengan sendirinya dan pada akhirnya dengan sedikit malu-malu akan kembali menghampiri kita dengan lebih tenang tanpa masalah. Masalahnya sudah ‘terlepaskan’ dan ia sudah ‘tak bermasalah’. Dan mungkin pada saat itulah saat tepat untuk sebuah penjelasan. Sebab memberi penjelasan saat ia tengah dalam puncak masalah, seringkali malah memperkeruh masalah.
Maka keyakinan, menjadi unsur penting dalam hal ini. Sebab pembiaran tanpa adanya keyakinan , hanyalah bentuk lain dari pelepasan tanggung jawab, atau pelarian dari masalah. Jika yang sebelumnya adalah penyelesaian dengan sendirinya, maka yang ini adalah kamuflase masalah. Atau penundaan.
Ada banyak masalah yang tak perlu kita selesaikan sebenarnya. Maka pengalaman, dan pemahaman, adalah instrument penting untuk membedakannya dari yang lainnya. Pengalaman menuntun kita untuk sebuah kecepatan, sedangkan pemahaman akan membuahkan ketepatan. Sehingga kemudian kita melihat, pengalaman tanpa pemahaman, lebih sering menghasilkan orang yang cepat gagal atau cepat berhasil dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan pemahaman tanpa pengalaman, seringkali menghasilkan keputusan tepat yang lebih lamban dari yang seharusnya bisa dilakukan. Yang berbahaya kemudian adalah, orang yang tak memilki keduanya. Anda pasti tahu sendiri kelanjutannya.
Wallahu a’lam.
20 comments:
mmm..menulis yang beginian selalu melelahkan....
dan....nggak pede.. :)
Semacam 'me time' dan 'leave me alone' gitu kan? He
:) saya malah ingin belajar menulis seperti ini lho Mas Iqbal
:) boleh saya diajarin ?!
Sering melihat kakakku melakukan itu, memberikan waktu pada anak2nya untuk mengeksplorasi apa yang mereka ingin lakukan dan butuhkan dengan tetap memberikan pengawasan..
pernah tau metode pembelajaran optimalisasi otak tengah?? inti disana adalah membuat kepercayaan diri si anak tumbuh.. nah "pembiaran" menurutku bisa menjadi salah satu cara untuk menumbuhkan kepercayaan diri pada anak..
Atau mungkin juga sebuah pembelajaran. Bukan utk lari dr masalah, tp agar si anak belajar utk menghadapi masalahnya.
Kalo kesimpulanku sederhana aja. Biar saat besar nanti si anak ga manja :D
seperti itu kah ya? kalau yang seperti itu kayake sy baca di buku pernikahan... Saat si suami sedang ada di 'guanya' maka biarlah ia sendirian sampai ia memutuskan untuk keluar sendiri. Jangan 'mengusiknya'!
ho ho...
untuk tulisan di atas, awal-awal begitu cepat menuliskannnya.... yg akhir2 baru melambat.
otak tengah?? pernah dengar saja.... itu bukan 'akal2an' sj ya??
iya, pembiaran yang benar memang bukan lari dari masalah. Dalam kasus si bocah, memang sekaligus sebagai pembelajaran......
seperti sakit yang ringan2, kita bisa melakukan pembiaran, Sebab yakin tubuh punya mekanisme tersendiri untuk menyembuhkannya. Ada ketegaan mungkin. Ketegaan untuk merasakan tubuh tak seketika sembuh. Ada waktu.
*belajar untuk secara positif menyikapi hal2 baru lah..
di bontang ada tu bal..di yang jual bebek lunak deket BCA..sekali2 diliat..aku mendengar penjelasannya di jogja waktu bundanya ponakanku ditawarin untuk mengikutkan anaknya..bukan akal2an menurutku..pengemasan teori yang baik untuk menjualnya..padahal sebenarnya peran itu bisa dilakukan oleh orang tuanya :)
uow..bebek lunaK? kalau itu tahu. :)
ceritany bagus ^^b
hmm,, untuk melakukan pembiaran semacam itu perlu trial n eror, belajar melakukan pembiaran di sikon yg terbaik. kita harus faham ya kapan memberi sebuah kepercayaan pada apa/siapa pun untuk menyelesaikan suatu masalah di "level"nya. kayak cerita kepompong-kupu2.
*komenku nyambung g c
Hehe..nyambung kemana maksudnya des?? :D
kalau udah makanan aja langsung tahu..ckck
nyambung. Nyambung kok! Tinggal nyari tali...
trial n eror ya?? hmmm..ngeri juga dengan kata terakhirnya. Intinya mungkin belajar. belajar untuk memperoleh pemahaman. Belajar untuk menyerap pengalaman. Karena bila kita mengandalkan pengalaman kita sendiri, niscaya umur kita tak akan cukup....
tempaty itu berkesan soale...tempat beli makanan untuk syukuran pengangkatan :)
pembiaran?? rasa-rasanya waktu kecil aku ga pernah mengalaminya. barangkali lupa kali ya.
waktu baca tulisan ini, pertama aku membayangkan diriku jadi 15 th yg lalu. terus aku membayangkan jadi anak kecil itu yg dibiarkan oleh ayahku. gimana ya rasanya....?? ternyata sulit dibayangkan.
yang sering itu ibu...biasanya beliau yg sering melakujkan pembiaran.....
soalny nggak semua yg bener buat orang lain juga bener buat kita n sebaliknya.
allahu'alam.
pernah dengar kata2 bijak itu : umur kita bla bla bla...
*kalah aq sama argumen pak iqbal. sip lanjutin pak
sfs ^^b
iya..bener banget! makanya dalam ESQ itu salah satu belenggu hati sebenare 'pengalaman'....
tapi menurut saya sih, pengalaman akan menjerumuskan bagi orang yg gagal mengambil pemahaman. Pemahaman akan membuat kita tetap jernih berpikir mengahadapi permaslahan meski kita amat berpengalaman dalam hal tsb..
ho ho..
Post a Comment