Friday, April 29, 2011

catatan seorang kawan; kebersamaan

#2

“main-mainlah ke rumah. Sekali-kali”

Itu adalah perkataannya. Berbulan waktu sejak pertemuan di masjid itu. Saat itu ia main ke rumah, berniat meminjam buku. Ia memintaku untuk sekali-kali berkunjung ke rumahnya.

Sejak pertemuan aneh itu, perkawanan itu berjalan amat baik. Tak banyak petemuan-pertemuan terencana memang. Lebih banyak pertemuan-pertemuan tak disengaja. Lagi-lagi masjid tempat kami pertama kali bertemu sebagai latarnya. Ia memang tak selalu sholat di masjid dimana aku sholat. Ada masjid yang lebih dekat dari rumah yang dikontrakkan perusahaan buatnya.

“mungkin sekitar satu tahun”

Itu adalah jawabannya ketika aku tanya tentang berapa lama ia bakal berada di kota ini. Ia memang tidak sedang bekerja di sebuah perusahaan permanen seperti aku bekerja sekarang. Ia bekerja di sebuah kontraktor yang kebetulan mendapatkan job di sebuah perusahaan kota ini. Suatu saat, ketika pekerjaan itu tuntas, kalau tak ada perpanjangan, pastinya ia akan berpindah ke tempat baru lagi. Ke perusaan baru yang membutuhkan jasa perusahaan dimana ia bekerja.

Berbulan telah lewat, dan aku mulai dapat merangkai banyak hal. Mengingat hal-hal lalu yang sedikit banyak terlupakan. Aku telah melihatnya sebelum-sebelumnya, ngobrol dengannya, tentu saja memang pernah. Perlahan aku juga ingat kalau pertemuan pertama kami sepertinya di sebuah dauroh. Mungkin sekitar 4-5 tahun yang lalu. Di sebuah masjid juga. Ini memang sebuah rahasia yang unik; orang-orang yang kita kenal di masjid, seringkali bakalan menjadi orang-orang yang punya tempat khusus dalam hidup kita.

Ada teman lain yang seusia, berada di luar pekerjaan sehari-hari, adalah anugerah. Tak bisa dipungkiri kalau itu memberi warna. Ditambah kenyataan bahwa ada banyak kesamaan diantara kita, kian menambah spesial hubungan itu. Maka kami pun mulai menghadiri acara khusus bersama, mulai nyaman mengobrolkan hal pribadi sembari tertawa, saling share tentang kemungkinan-kemungkinan.

“makan malam, yuk”

Ini juga penawarannya, suatu saat ketika kita bertemu di waktu isya’. Aku tersenyum, dengan sedikit tak enak mencoba menolak. Alasannya bukan karena aku tak ingin. Tapi karena aku baru saja makan. Memang, jadwal makan malamku sekarang tak pernah melebihi isya’.

“lain kali saja, ya?”, lanjutku. Kelak aku sadar, tak ada lain kali yang kumaksud itu.

“baiklah”.

5 comments:

iqbal latif said...

bersambung...
bagian pertama ada di postingan sebelumnya

akuAi Semangka said...

'Kelak aku sadar, tak ada lain kali yang kumaksud itu.'

mirip Tere liye :D

iqbal latif said...

Ah, semuanya kok serba mirip tere ly :)

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

tampaknya sambungannya bakal seru, nih ... he he he ...
-tak ada lain kali-

iqbal latif said...

Begtukah? Jangn ktinggalan lanjutannya berarti :)