Wednesday, April 20, 2011

(potongan cerita): maunya sih tentang kartini

Pagi ini tak kudengar suara panggilan ibu untuk menyuruhku segera sarapan. Aku ingin bersikap biasa saja, tapi entah mengapa tak bisa. Sudah jam sembilan, tapi aku masih malas-malasan di kamar. Tentunya ibu merasa tak enak menggangguku setelah kejadian kemarin sore. Ia pastinya kikuk menghadapi hal seperti ini, tak tahu mesti bagaimana harus bersikap. Ia tak memilki pengetahuan apapun tentang hal ini, tentang mengapa setelah diterima seseorang masih harus daftar ulang dengan menyerahkan uang begitu banyak. Untuk apa uang itu? Apakah untuk pintar seseorang terlebih dahulu harus kaya?

Tok..tok…tokk. pintu kamarku ada yang mengetuk.

“Iya, masuk saja, bu”. Aku sudah yakin kalau itu ibu, semua kakakku maupun  bapak pastinya sudah pergi bekerja jam-jam seperti ini. Aku juga biasanya membantu mereka.

Pintu kamarku terbuka. Ibu masuk. Ia tak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia masih berwajah teduh seperti biasanya.

“Nggak makan dulu?”

Aku sebenarnya ingin bilang belum lapar, tapi demi melihat ekspresi muka ibu aku urungkan. “Iya, sebentar lagi, bu”.

“Ibu masakin sayur kesukaanmu lo…sayur rebung. Kebetulan waktu ke kebun tadi ada yang sudah tumbuh”.

Aku tersenyum. Memandangi wajahnya. Ia selalu punya kejutan-kejutan kecil bahkan untuk momen seperti ini.

“Ayo, cepet”

“Bu--?”

Ibu menoleh. Air mukanya berubah. “Ya?”

Ganti aku yang gelagapan. “Nggak jadi deh”

“Katakan saja, anakku”

Anakku? Jarang sekali ibuku memakai panggilan itu. Begitu menentramkan. Aku berhenti lama, sebelum mulai berkata-kata.“bu, dulu, waktu ibu berhenti sekolah pas kelas tiga SD karena hanya sampai kelas itu adanya, pernah nggak terpikir di benak ibu untuk bisa melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi. Pingin lebih”.

Ibu terdiam. Serendah apapun pendidikannya, ia tahu ini adalah pertanyaan yang sangat penting dan sensitif bagiku. Ia merenung, seolah menyusuri potongan kisah berpuluh tahun yang lalu, masa kecilnya. Berdasarkan cerita ibu dulu, ia hanya sekolah SD sampai kelas tiga, karena hanya itu saja kelas yang ada di desanya, juga desaku yang sekarang ini. Untuk bisa melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi harus berjalan kaki ke kota kecamatan. Hanya orang-orang tertentu saja yang selanjutnya melanjutkan ke kota kecamatan, kebanyakan adalah laki-laki.

“Nak, dulu ibu sekolah hanya biar bisa baca tulis saja. Itu yang dikatakan kakekmu. Ibu tak punya bayangan lain. Bagi kakekmu, yang penting belajar ilmu agama di madrasah. Dan ibu menurut. Kakekmu pasti tahu yang terbaik bagi ibu. Ibu hanyalah seorang perempuan yang nantinya melayani laki-laki, suaminya”.

Sesederhana itukah? Aku ingin membantah dan mengejar pernyataan ibu itu, tapi itulah mungkin yang ada di benak ibu. Kesederhanaan dalam bersikap.

“Tapi nak, ibu tahu itu sudah tidak jamannya lagi”.

Aku terhenyak, menunggu kelanjutan kalimat ibu.

“ibu ingin anak-anak ibu tidak mengikuti jejak ibu. Cukup ibu saja yang bodoh. Ibu ingin anak-anak ibu bisa sekolah setinggi yang mereka inginkan.

“hal ini juga berlaku untuk kamu, anakku. Kaulah anak ibu yang paling pintar. Bahkan ibu bisa menebaknya pas kau masih bayi. Kau adalah anak ibu yang paling jarang sakit-sakitan. Bahkan sejak umur dua tahun kau sudah membuat ibumu bangga dengan menjuarai kontes bayi sehat sekecamatan. Saat itu ibu begitu bangganya bisa duduk bersanding dengan ibu camat dan ibu-ibu lurah sekecamatan. Kau dipangkuanku, begitu lucunya.

“sejak saat itu ibu yakin kau bisa menjadi orang besar, lebih dari hanya bersanding dengan pak camat atau pak lurah. Kau akan bisa menjadi seperti apa yang kau inginkan”

Ibuku mulai terisak. Aku menyesal mulai menanyakan masalah ini. Ternyata tidak hanya buatku, hal ini juga teramat menusuk bagi seorang ibu.

“Tapi maafkan ibu tidak bisa merealisasikan keinginan itu nak, ibu tahu kau sangat menginginkannya. Kau sering mengigaukannya dalam tidurmu. Hanya inilah yang bisa kami lakukan. Tolong maafkan kakak-kakakmu, juga bapakmu”

“Tidak bu, tidak. Ibu sudah memberikan hal terbaik pada saya. Saya tak akan menuntut lebih. Saya sudah ikhlas kok. Saya hanya butuh waktu saja untuk membuatnya normal seperti sedia kala”. Aku tak kuasa untuk tidak memeluk ibuku.

“Maafkan kami, nak”.

23 comments:

iqbal latif said...

tulisan yang sangat luama---- bagian dari sebuah cerita

Siska Rostika said...

Ga bs nangkap ini masalahnya apa. apa krn otak lg penuh ya?

iqbal latif said...

iya, karena ini potongan cerita yg panjang :)

Chifrul S said...

Subhanallah..antm dulu juara bayi sehat y...lutuna..^o^

iqbal latif said...

kata siapa?

--coba dilihat sekarangnya... bener g itu?

APRILLIA EKASARI said...

aku cuma nangkep ibu yang sayang anaknya hehe

APRILLIA EKASARI said...

lho itu kisah nyata?
kirain cerpen...

iqbal latif said...

nggak tahu, nyata apa tidak?

iqbal latif said...

:)

desi puspitasari said...

Pukul sembilan, Bal, bukan jam sembilan :)

iqbal latif said...

Oke. Oke :)
asal nggak kelaran ae

desi puspitasari said...

Kelaran piye? Kelaran apane? Enak klekaran ae..

iqbal latif said...

Lek dipukul peng söngo, kelaran, kan?

desi puspitasari said...

Hoalaah yooh :))

HayaNajma SPS said...

ibunya Bu Kartini ya ;p

iqbal latif said...

Kok bisa, ber?

HayaNajma SPS said...

cuma nyari hubungannya ama kartini aja ;d

iqbal latif said...

Hwow.. Hubungannya baik2 saja

HayaNajma SPS said...

syukurlah, smoga tetep langgeng

Yaufani Adam said...

sy dapet poinnya sedikit
ini kisah mas latief ya?

iqbal latif said...

Dpt brapa poin? Bingo?
Kok bisa? Jangan tlalu percya :)

Ar Rifa'ah said...

tentang ibu yg merasa bersalah krn tidak bisa m'biayai pendidikan anakx yg lbh tnggi, padahal si anak sudah lulus tes. Right?

iqbal latif said...

Mmm..seperti it mungkn. Hehe.
Sbenare sudah jelas. Heran juga kalo ada yg tidak ngeh..