Monday, April 11, 2011

tentang mulut nyinyir kami

“sempat juga ingin pindah ke pemasaran”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Ringan, seringan tiap kalimatnya yang dulu-dulu. Tapi ada keseriusan. Tentu, di usianya yang sudah kisaran setengah abad, tak ada lagi kosakata main-main dalam kamus hidupnya. Bercanda boleh, tapi tidak main-main.

“hampir saja ikut-ikutan mendaftar untuk ikut seleksi penempatan karyawan di pemasaran”

Kalimatnya berlanjut. Semakin terang. Tentu, ia sedang berbicara tentang ketidakjadian. Sesuatu yang urung terlaksana. Sebab ia masih di sini, masih menjadi foreman. Masih menjadi kepala regu dari operator. Masih menjadi bagian dari unit kerja yang bertugas untuk memproduksi, bukan yang memasarkan. Tapi penyebab keurungan itu, belum terbuka.

“Untungnya ada yang mengingatkan” ia berhenti. Seolah ingin memberi kesempatan kepada pendengarnya untuk seksama menyimak apa yang ingin ia ucapkan, “katanya, di pemasaran tidak seenak kelihatannya. Godaannya besar. Banyak iming-iming dari kanan-kiri. Tak kuat iman bisa-bisa korupsi, bisa-bisa menyelewengkan aset”

Jelas sudah.

“saya orangnya tak kuatan. Tak terlalu tahan godaan. Jadi mungkin ada baiknya tetap di sisni saja. Paling banter korupsinya terkantuk-kantuk saja pas malam”

Ia memang bekerja shift. Bisa masuk pagi, sore, ataupun malam. Terkantuk-kantuk yang ia maksud, tentunya pas jatah shift malam hari. Saat ia mesti terjaga di saat seharusnya terlelap.

-o0o-
Ini lah kita
-***-

Ya Allah, ini tentang kami. Ini tentang kami yang begitu sok tahu menghujat orang-orang itu. Yang begitu sok suci, hingga tak pernah menyadari jika diri ini yang menjadi orang-orang itu, mungkin hal lebih buruk yang terlakui. Yang begitu naifnya menilai sebuah tanggungjawab lebih dengan pembanding godaan yang menimpa diri saat ini.

Maka, ya Allah, di saat derasnya pemberitaan-pemberitaan. Di saat banyak kasus ini-itu terberitakan menimpa si ini dan si itu. Tentang penyelewengan ini dan penyelewengan itu. Tentang ketidakbenaran ini dan ketidakbenaran itu. Jagalah mulut ini untuk tak ikutan nyinyir menghujat. Seolah kami tak akan mungkin menjadi begitu jika di posisi itu. Cukupkanlah istighfar meluncur dari lisan-lisan kami. Menafakuri keadaan. Menjengkali diri. Semoga dengan begitu, terlakuilah amanah yang melekati diri.

10 comments:

HayaNajma SPS said...

sama dong, korupsiku tidur..

Moes . said...

Hmm segala sesuatu terletak di bagian tubuh yang terkecil. Hati dan Lisan


SABUDI 'sastra budaya indonesia'
mari kita jaga bersama!

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

iya, benar ... kita harus menjaga lidah, ya ...
terima kasih, ya ...

Lolly aja said...

Semoga kita tidak terjebak dalam ghibah... Amiin...
*cukup menjadikan semua kejadian ini sebagai pelajaran, untuk diambil hikmahnya...*

rifi zahra said...

Nuhun for sharing, mas iqbal...

desti . said...

sfs pak ^^b
*astaghfirullah

Lani Imtihani said...

tapi masih saja banyak yang telp ke aku nanya lowongan ke pemasaran :))

Pemikir Ulung said...

mantep banget bal
4 jempol

tapi seseorang ga akan diuji melebihi kapasitasnya bal..dan semakin tinggi "posisi" apapun itu, akan semakin besar pula ujiannya, bukankah ayatnya juga ada, bahwa kalau kita mengaku beriman saja kita akan diuji

mudah-mudahan ga ikut nyinyir, tapi ga juga jadi membenarkan. pilih cara yang baik. bukan dengan nyinyir-nyinyiran. jangan karena cinta maka jadi buta, tapi juga jangan karena benci maka jadi bebal

aku tangkringin linknya ya ditempatku

al fajr "fajar" said...

koq komene ga ono sing direply?

Pemikir Ulung said...

iya ya jar, aku baru sadar