Wednesday, April 13, 2011

ulat bulu? siapa takut

Tak ada penelitian ilmiah. Setidaknya dulu. Tapi begitu luar bias kala cara turun-temurun orang-orang desa untuk mengatasi sebuah hal itu pada akhirnya mendapatkan pembenaran intelektual. Salah satunya, sebut saja tentang bagaimana orang-orang kampung mengolah gadung. Gadung, adalah tanaman menjalar yang kerap kali umbinya dimanfaatkan sebagai keripik. Tak seperti singkong, perlu perlakuan lebih untuk bisa menghasilkan keripik gadung dari umbinya ini. Permasalahannya memang terletak pada kandungan asam sianida yang cukup tinggi pada umbi gadung ini. Banyak cara untuk menghilangkan asam ini mungkin, tapi orang-orang di kampung halaman saya dulu memakai abu gosok untuk membalur umbi gadung yang telah dirajang dalam ukuran yang lebih kecil. Kelak, bertahun sejak pertama kali mengenalnya, ilmu pengetahuan menjelaskan pada saya bahwa abu hasil pembakaran tungku itu bersifat basa yang bagus untuk menetralkan sifat asam yang ada pada getah umbi gadung.

Dalam dunia pengobatan, kebiasaan orang desa untuk memanfaatkan tanaman sekitar untuk mengobati penyakit tertentu juga patut dicermati. Tak ada penjelasan medis, hanya kebiasaan turun temurun. Kalau kena pisau diberi getah anak pohon pisang, kalau mau mengeluarkan duri dari telapak kaki memakai getah serut, kalau perut kembung dikasih daun simbukan, kalau begini dikasih ini, kalau begitu dikasih itu. Bahkan ketika ilmu pengetahuan menjelaskan tentang senyawa yang terkandung dalam tanaman-tanaman tersebut, yang ampuh untuk mengobati penyakit tertentu, itu sama sekali bukan lah sebab yang membuat beberapa orang untuk setia memraktekkan kebiasaan-kebiasaan tetuanya di tengah deraan obat kimiawi yang begitu deras.

Ya ya ya. Ketika ilmu pengetahuan satu persatu memberi pembenaran tentang kebiasaan turun-temurunnya itu, kini, justru orang-orang kampungnya sendiri yang dengan sadar meninggalkannya perlahan. Dengan dalih modernitas, dengan alasan simplisitas. Di dunia pengobatan lah yang paling kentara. Obat-obatan kimia begitu gencar menghajar. Membuat masyarakat desa meninggalkan kebijakan tetua. Ya, benar, memang tak selamanya yang turun-temurun itu mesti dipertahankan. Tapi juga sama tak benarnya jika melupakan semuanya tanpa memperhatikan kemanfaatannya.

Satu dari beberapa kebijakan orang-orang dulu yang sepertinya sekarang mulai ditinggalkan adalah bagaiamana cara mengatasi bentol-bentol akibat ulat bulu. Dulu, ketika balsem yang kini kerap dipakai orang-orang kampung untuk mengatasi gatal-gatal akibat ulat bulu menjadi sebuah hal yang mewah, orang-orang kampung punya kiat sederhana untuk mengatasinya. Benar, sejak dulu masalah gatal-gatal akibat ulat bulu ini sederhana saja. Maka sederhana pula cara untuk mengatasinya. Orang-orang kampung kami dulu memakai daun lamtoro sebagai penangkalnya. Lamtoro, tanaman yang sering ditanam sebagai pagar kebun ini, daunnya diremas-remaskan ke bagian kulit yang gatal akibat ulat bulu. Lebih disarankan memanfaatkan lamtoro yang buahnya kecil-kecil, bukan yang jenis lamtoro gung. Sebab konon, yang jenis kecil ini lah yang lebih ampuh. Kata konon saya pakai di sini karena memang sampai sekarang, untuk kasus ini, saya tak tahu alasan medisnya. Hanya pengalaman saja yang mengajarkan.

Hanya itu? Tidak! Ada alternatif lain. Lagi-lagi memakai abu gosok. Tapi untuk kasus ini dipersyaratkan abu gosok yang masih hangat dari tungku. Entahlah, mungkin ada manfaat lain, tapi bagi saya, mungkin rasa hangat inilah dimanfaatkan untuk mengatasi gatal-gatal akibat ulat bulu. Sebab pemakainnya, memang abu dari tungku tadi ditaburkan ke bagian kulit yang gatal.

Jangan digaruk! Jangan mandi sebelum benar-benar sembuh. Dua itulah pantangannya. Minimal itulah yang dulu diajarkan tetua kampung.

Jadi, bagi anda yang sedang heboh wabah ulat bulu, sederhana saja. Sebab saya semasa kanak-kanak dulu sering sekali gatal-gatal diakibatkan olehnya. Dua resep di atas sudah pernah saya coba. Manjur. insyaAllah. Tapi ada yang lebih manjur. Sebuah resep sederhana yang saya ketemukan sendiri. Bahkan daya sembuhnya lebih cepat. Caranya, tinggal berguling-guling di teras depan rumah yang panas terpanggang matahari. Dulu, teras depan rumah saya di kampung memang tak beratap. Hingga tegelnya langsung terbakar matahari. Di tegel-tegel yang panas itu lah, kulit yang bentol-bentol itu saya panggang. Sampil berjingkat-jingkat pastinya.

Untuk yang terakhir, anda tak harus mencoba kok.


23 comments:

antung apriana said...

bukannya takut sih sama si ulat bulu. tapi geliiii,,,,,hiiii

iqbal latif said...

Mirip lah. Hehe

akuAi Semangka said...

Ya. Sederhana saja.

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

serem, Mas ... he he he ...
bulunya bikin gatel ...

iya, betul memakai daun lamtoro ... he he he ...

iqbal latif said...

Harusnya anak bio g takut ulat ini. Bener g?

iqbal latif said...

@banghendra...kalau g gatal, g bakalan merasakan nikmatnya nggaruk. Hehe. Tp kalo kena ulat jngn dgaruk

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

iya, jangan ... nanti malah menyebar ... he he he ...

desti . said...

baru tau, knp klo mandi?

*btw, yg guling2 itu, haha, ulatbulunyapasticekikikan

iqbal latif said...

@banghendra...makanya, karena g tahan gatalnya it sy guling2
@desti...wah, it pngalaman sj. Gtw ilmiahnya.

akuAi Semangka said...

ga smua anak bio suka ulat. Eh, tapi aku suka banget lihat ulat. Bahkan kalo ke hutan paling seneng koleksi foto2nya. Warnanya lebih variatif dan gede2. Pernah menemukan ulat bulu 'disco'. Maksudnya goyang2 gt sampe bikin tanamannya bergerak. Ada skitar 10 buah dalam 1 tanaman. Ukurannya setelunjuk org dewasa.

Aturannya adl jangan dipegang. Meskipun lucu, tetap aja bulunya bikin gatal. Kalopun mau pegang, ada cara tersendiri. Yg pasti bag ventral ulat itu yg paling aman utk kulit kita.

Di hutan jg ada tanaman yg bikin gatal2, tp ada tanaman penangkalnya jg. Pernah kena di pipi dan waktu dioles batang tanamannya perih bgd, kayak diparut2. Tapi trus gatalnya hilang.

iqbal latif said...

ada ulat yg unik dulu:
yg pertama ulat senggenit. Warnanya hijau dg bulu hijau panjang... Tidak seperti yg lainnya yg menimmbulkan gatal, ulat ini malah menimbulkan sakit yg nyelekit kalau kesentuh.. habitatnya ada di daunpisang...

yg kedua ulet heleman.. Karena sepertinya dia pakai helm gitu di kepala..jalannya lucu.. Dulu sering nemu di pohon jambu air...

akuAi Semangka said...

hahaha.. Suka lucu deh dgn spesies yg pake nama2 daerah. *dan aku berterima kasih pada Om Linnaeus

iqbal latif said...

Siapa (atau apa) it om linnaeus?

akuAi Semangka said...

dia terkenal sbg Bapak Taksonomi. Yg membuat aturan penamaan spesies binomial nomenklatur. *ah, ga lg ngetes kan yaa? -_-'

akuAi Semangka said...

dia terkenal sbg Bapak Taksonomi. Yg membuat aturan penamaan spesies binomial nomenklatur. *ah, ga lg ngetes kan yaa? -_-'

iqbal latif said...

Uow..kok aq g pernah dengar. Apa ngantuk waktu itu? Familiernya avogadro, ergun, bernoulli.. :D

al fajr "fajar" said...

*dadi gatelen moco jurnal iki

iqbal latif said...

Digaruk ae. Gpp lek gawe kowe

Pemikir Ulung said...

sederhana saja :p

iqbal latif said...

Ibu perawat g ngasih pnjelasan?

Pemikir Ulung said...

siapaa ibu perawat? *tengok kanan kiri*
ehehe

perawat kan care bukan cure *ngeles* :D

iqbal latif said...

Hoho. Begitu kah?

Pemikir Ulung said...

begitu memang. baru tahu kah?
perawat belajar care, dokter belajar cure. body of knowledge-nya beda