Friday, January 7, 2011

denial-anger-bargaining-depression-acceptance

Kakakku yang pertama mengatakannya. Dulu.

“sudah! Diikhlaskan saja. Kalo terpaksa jadi tak enak”

Ini tentang masa kecil. Sebagai anak bungsu, saya lah yang sering kali jadi objek. Objek yang disuruh-suruh. Untuk hal yang remeh temeh memang. Yang tak perlu skill khusus, yang tak perlu tenaga ekstra, namun butuh sebuah hal yang jauh lebih berat; kelegowoan hati. Keikhlasan.

Orderan yang sering kali menyapa adalah masalah beli-membeli. “Bal, belikan garam gih!”, atau “minyak tanahnya habis, tolong belikan ke....”, atau “belikan garam ke..” adalah kalimat permintaan yang sering tertujukan padaku. Kau pasti tahu siapa yang menyeruh hal tersebut dengan membaca redaksionalnya. Ya, ibu –atau saya biasa memanggilnya emak. Maka, kau pasti paham, tak boleh ada penolakan untuk permintaan seorang ibu, kan? Dalam keadaan berat atau lapang, dalam keadaan sempit atau sesak, dalam keadaan luang atau bermain.

Begitu pun saya kala itu. Kalau tak dalam keadaan ngambek sengambek-ngambeknya, meski berat, tetap saja permintaan itu harus dilaksanakan. Meski harus bersungut-sungut melangkahkan kaki. Kadang memang tetap saja terasa berat, meskipun ada kalimat ikutan dalam permintaan ibu itu; “kembaliannya diambil saja”. Padahal, warung tempat membeli keperluan harian itu dekat saja, tak lebih dari dua kali panjang lapangan bola. Kadang berjalan kaki, kadang bahkan bisa sambil bersepeda.

Intinya memang ada pada penerimaan, pada keikhlasan, pada kelegowoan. Tak ada rasa itu lah yang menyebabkan pekerjaan membeli keperluan harian tersebut menjadi berat. Menjadi seolah sebegitu menggangunya. Padahal nyatanya tidak. Perlu waktu yang sebentar saja sebenarnya untuk menyelesaikan tugas mulia itu—maka tak akan banyak memangkas waktu main. Tak perlu tenaga banyak juga untuk menyukseskan misi agung itu –maka tak ada keletihan yang harus ditanggung di akhirnya. Jika dibuat ringan, seolah permainan, pastinya bakal menyenangkan. Bukankah, untuk keperluan pribadi, saya sering berjalan kaki berkali lipat untuk membeli sesuatu. Dan itu ringan-ringan saja.

Maka poin itulah yang diungkapkan kakakku tadi di petikan teratas. Ya, suka tak suka, ingin ataupun tak ingin, saya toh mesti melakukan permintaan ibu itu. Maka logikanya, jika memang begitu, harusnya ya dibuat ringan saja. Bersungut-sungut karena tak ikhlas toh tetap harus melangkahkan kaki, maka pilihan cerdasnya pastinya satu; tersenyum-senyum saja memulai aksi sambil menenteng botol minyak tanah oleh sebab ikhlas. Karena, tak ada opsi untuk menolak.

Namun ternyata, itulah sulitnya. Kita sering kali terbawa perasaan ketimbang logika. Padahal, dalam kalkulasi apapun, berangkat sambil tersenyum riang pastinya lebih menguntungkan daripada melangkah sambil bersungut-sungut. Toh hasilnya akan sama saja. Kita akan menempuh jarak yang sama, akan menghabiskan waktu yang kurang lebih sama, juga akan memperoleh kembalian yang sama pula. Tersenyum, lebih baik dari pada ngedumel.

Ego. Mungkin itulah. Menunjukkan ketaksukaan kita melakukan itu agar di lain waktu tak disuruh-suruh lagi? Ha ha..boleh jadi juga itu. Tapi semoga saja tidak. Toh, beberapa menit setelah misi membeli kebutuhan domestik itu terjalankan, sama sekali tak ada gurat terlipat yang tersisa dari ngedumel sewaktu melangkahkan tadi. Sempurna hilang dan terlupa. Ah, kanak-kanak.

Itu adalah cerita berhikmah di masa lalu. Tapi, ternyata, pelajaran serupa harus saya terima lagi sore itu. Mungkin yang dulu-dulu belum lulus benar. Atau mungkin ini adalah edisi pengayaan, seperti dalam pelajaran matematika jaman sekolah dulu.

Kejadiannya ada di bandung. Tiga perempat jam sebelum keberangkatan ke Jakarta. Ceritanya kurang lebih begini. Hari kamis kala itu, sehari sebelum keberangkatan, kudatangi pool travel itu untuk memesan satu tempat. Setelah bertanya-tanya tentang berbagai jurusannya, maka dipilihlah yang akan turun di daerah cikini dengan keberangkatan jam empat. Malam itu, si petugas memperlihatkan denah tempat duduk di mobil Elf itu untuk saya pilih. Saya memilih nomor 5 ketimbang nomor delapan yang berada di belakang. “mbayarnya besok saja saat mau berangkat”, demikian kata mbak petuga travel itu. Beberapa jenak kemudian sms pemberitahuan tentang pembookingan pun saya terima. Bila kalian masih ingat, travel ini adalah travel yang mengecewakan saya di saat keberangkatan Jakarta-bandung. Saya tulis di sini.

Ternyata, dua teman saya yang lain pun , memesan juga untuk pemberangkatan dan tujuan yang sama. Jadilah kita berangkat bersama.

Dan kejadiannya ada di jumat sorenya. Saat kita sudah berat-berat menyeret kopor yang berat, saat kita sudah tiga perempat jam menuju ke keberangkatan, saat kita sudah di depan loket, fakta itu tersaji. Mulanya saya tak tahu apa-apa. Mbak petugas melayani pembayaran saya seperti biasa. Tujuh puluh ribu per orang. Tarif normal. Yang beda, di bukti pembayaran, tempat duduksaya berganti menjadi nomor tujuh. Tapi tak masalah, tak ada yang perlu diributkan. Sama saja.

Keanehan justru terjadi pada teman saya yang ngantri di loket sebelah. Tarifnya Cuma enam puluh ribu per orang. Lebih murah sepuluh ribu ketimbang saya. Dan, betapa kagetnya teman saya itu, kala menyadari, kendaraan yang bakal digunakan adalah bus, bukan ELF yang hanya berisi maksimal delapan orang. Bergegas kemudian ia mengonfirmasikan ke petugas loket.

“iya, mas. Yang ke Cikini jam empat pakai bus” demikian kata mbak petugas.
“lo, teman saya ini kok bisa?” sahut teman saya sambil mengambil bukti pembayaran dari tangan saya. Di situ, memang tak ada keterangan sama sekali kalau bakal naik bus. Harganya pun normal.

Mbak petugas mengambil bukti pembayaran dari uluran tangan teman itu. Mengamati sejenak. “iya,mas. Ini juga pakai bus”, lalu lanjutnya. “nggak kamu kasih tahu kah?” kali ini ia menoleh ke petugas yang melayani saya.

Kontan saya kembali menuju ke petugas yang melayani saya tadi.Dan benar, ia mengulurkan sepuluh ribu lagi sebagai kembalian buat saya yang tadi cuma tiga puluh ribu.

“iya, mas. Naik bus” demikian katanya mengulangi temannya.Saya mencari-cari kata maaf meluncur darinya, tapi tak ketemu juga.

“La, kemarin saya wong pakai disuruh milih tempat duduk yang Elf segala”
“nomor lima ya? Iya, tapi ganti naik bus”

Hanya sampai di situ. Saya sudah kehilangan selera untuk menanggapi lebih. Tentang mengapa tadi ia diam saja dan sama sekali tak menjelaskan tentang berubahnya kendaraan menjadi bus. Tentang mengapa ia melayani saya dengan pembayaran normal seperti biasa. Tentang mengapa tak ada pemberitahuan sebelumnya. Tentang mengapa perusahaan travel sebesar ini masih saja melakukan kesalahan-kesalahan sepele tapi fatal seperti ini. Tentang, ah, apakah ia mengerti sebuah kalimat marketing yang begitu terkenal; “menurut survey, ketika seorang konsumen merasa puas dengan sebuah bentuk pelayanan atau barang maka dia akan mengatakan kepada 10 orang. Sedangkan jika orang tidak menyukai sebuah bentuk pelayanan atau barang maka dia akan mengatakannya kepada 20 orang.”

Tapi tak ada yang bisa dilakukan. Pemberangkatan dengan menggunakan Elf ke daerah Cikini, baru jam lima sore. Itu artinya satu setengah jam lagi. Mau mencari travel lain pun sudah terlambat. Maka saat itu, ketika teman saya berbicara tentang ketaknyamanan naik bus dibandingkan naik travel , saya lebih banyak terdiam saja. Bukan karena menerimanya seketika. Bukan. Hanya sedang berdialog dengan diri sendiri. Ah, ini adalah pelajaran masa kecil itu, ini adalah pelajaran hidup sederhana yang bahkan sudah saya peroleh ketika memakai seragam merah putih. Ini adalah edisi pengayaan, bukan mengulang layaknya dulu mendapat nilai D. Maka harus berbeda penyikapannya.

Yang bisa dilakukan hanyalah menata hati. Mencoba menerimanya. Karena, menerima atau menolaknya dalam hati sambil menggerutu, tetaplah saya pada akhirnya harus naik bus itu. Itu adalah pilihan yang paling realistis. Suka atau tak suka. Menggerutu atau tersenyum. Sama saja. Maka pilhan terbaiknya adalah menerimanya untuk menciptakan kenyamanan hati.

Ini, juga masalah ekpektasi ternyata. Saat kau menyiapkan hati untuk naik Elf yang lebih nyaman tempat duduknya, maka kau kecewa saat yang kau dapati adalah bus yang biasa saja. Beda halnya jika kau menyiapkan diri untuk naik kopaja-nya jakarta, kau tentu saja akan tersenyum-senyum kala yang didapati justru bus ber-AC dengan tempat duduk yang sedikit bisa diturunkan ke belakang untuk bersandar.

Akhirnya edisi itupun berlalu. Biasa-biasa saja. Tak ada yang perlu dirisaukan. Nyampai juga di Cikini meski agak sediit terlambat oleh sebab macet. Di tol pun ternyata memang macet.


16 comments:

Ibu Bagus Toko said...

likes this :)

Lani Imtihani said...

perjalanan kalian dinas ini kok ya berat sekali kayaknya..banyak cobaan :))

iqbal latif said...

@tookoibubagus...terimakasih
@kernjanghrpn...tapi aku tak menyebutnya ini dg mengenaskan. Hal sprti ini tak dialami di bontang mungkin. Enjoy saja

Haya Najma said...

bikin dongkoll

iqbal latif said...

siapa yg dongkol?

Haya Najma said...

ya kalo aku ngalamin, pasti monyong2

iqbal latif said...

bahkan setelah baca tulisan ini?

Haya Najma said...

kalo baca ini mah, seneng, dirimu yang kena

iqbal latif said...

haha..
kayake dirimu nggak cocok jd dokter.. La kok malah seneng lihat penderitaan orang lain. Gmana mw nyembuhin pasien

Haya Najma said...

haha, biarin

iqbal latif said...

wah wah.. kemunduran besar bg dunia kedokteran kita :)

Haya Najma said...

sok tauuuu :P

al fajr "fajar" said...

ooo.. ngene toh ceritane..

hahahaha..

iyo kelingan travel sing marai awakmu rada sebel iku.. qiqiqi

emang memposisikan njuk digawe enjoy ae lah..blas ga gampang..
padahal bener iku gurat anyel ki wis ga ana juga.. tapi sesaat juangkel ki kerep.. haha

iqbal latif said...

ini travel terbesar lo! bisnise sdh menggurita.. tp kok masih begini saja.

*digawe enak ae lah memang.. untunge aku enjoy sj naik bus. jd ra turu tp moco

Leila Niwanda said...

Kalau saya, kadang ego itu muncul ketika disuruh sesuatu yang sebetulnya sudah terpikir untuk dilakukan, tapi belum sempat/nunggu saat yang pas aja. Rasanya kok 'lebih ikhlas' melakukannya karena keinginan sendiri ya, walaupun sebetulnya bisa jadi pahalanya gedean karena disuruh.

iqbal latif said...

he he...kadang hal itu memang terjadi...

makanya dalam menasehati pun harus bijak... Jangan sampai nasehat kita justru membuat orang itumalas melakukannya meski ia sadar sesadar-sadarnya kalau itu baik....