Monday, January 24, 2011

mata air mata

Aku pernah memergoki ibuku menangis. Bukan tangis berderai memang. Hanya sesenggukan yang aku tahu sekuat tenaga ia tahan. Tapi cukup. Cukup membuatku terdiam tak mampu berkata. Merekonstruksi banyak hal dalam pikiran. Memainkan berbagai kronologi dalam imaji. Dan, hei, betapa itu menusuk-nusuk. Jika gambaran yang sering kau lihat adalah gambaran perkasa yang melakukan segala, yang mampu menahan tanggungan hidup yang kerap mendera-dera, maka saat kau melihatnya dengan kebalikannya, itu berkali-kali lebih menyakitkan. Itu mungkin sebuah titik kulminasi. Semacam titik stasioner pada grafik polinomial. Bukan untuk menyerah. Atau lelah. Hanya untuk menyerap energi. Sebab aku tahu, beberapa saat setelah itu, air mata telah punah dan kosakata yang berlaku kembali satu: kerja.

Aku juga pernah menyaksikan secara dekat dosenku berkaca-kaca. Tiba-tiba terdiam dari kuliahnya yang seketika membuat hening suasana. Semua mahasiswa dirundung bingung tak tahuberbuat apa. Muka-muka saling melirik dan beberapa mulai dirundung sesal. Berandai-andai jangan-jangan merekalah penyebabnya. Mereka, atau beberapa dari mereka, memang terlihat tak memperhatikan kuliahnya. Tapi, ah, alhamdulillah. Setelah menit-menit yang berlalu begitu panjang, pak dosen membuka kembali pembicaraannya. Ia terlalu emosional, begitu ungkapnya. Ia terlalu emosional berbicara mengenai korupsi. Sebuah bahasan yang tiba-tiba menghentaknya dengan sebuah kesadaran, bahwa amat sangat mungkin mantan-mantan mahasiswanya itulah termasuk pelakunya.

Lalu aku pernah menatap lemah seorang puteri yang menangis di sudut rumah sakit. Saat itu aku, dan seorang teman, membersamai gadis itu menjenguk ayahnya yang dirawat di rumah sakit. Tapi lihatlah, bahkan sebelum ia sampai benar, saat ia menatap dari kejauhan, dari balik kaca yang tak memperbolehkannya masuk, demi melihat tubuh ayahnya yang penuh selang-selang menempeli tubuh, tangis itu pecah. Maka aku tak tahan, tak tahan melihat pemandangan itu. Membuang muka dan sebisa mungkin tak mendengar sesenggukannya.

Itu adalah 3 air mata yang hebat. Tangis yang membuatku menunduk dalam tak banyak kata. Tapi kali ini, akhir-akhir ini, aku melihat air mata bertebaran yang justru membuatku muak melihatnya. Kuganti channel TV aku temukan sinetron dengan tokoh utama tak henti menangis. Air mata sungguh menjadi karibnya. Segalanya mesti disikapi dengan tangis. Lemah, lemah, dan lemah. Itulah yang kemudian tercitra.

Tapi itu memang fiksi. Ya, fiksi. Tapi aku kemudian punya argumentasi pementah jawaban itu. Aku ganti channel televisi dan aku temukan lagi tangis. Ah, kali ini bukan sinetron, bukan pula film. Kali ini kenferensi pers seorang perempuan cantik. Air mata terlihat berderai-derai menyertai mulutnya yang sepatah-patah memenuhi dahaga wartawan yang menyorongkan berbagai pirantinya.

Aku bosan. Kuganti kembali channel televisiku. Lagi-lagi kutemukan airmata. Seseorang yang duduk di kursi pesakitan berpledoi sambil mengalirkan air mata. Menjiwai betul. Benar-benar air mata. Tapi maaf, maafkan aku yang sudah terlanjur mensuudhoni itu sebagai cara mengais simpati. Maka maafkanlah aku yang kemudian mematikan televisi. Ogah menonton tangismu. Tapi tentu saja, tentu saja bukan keogahan menonton layaknya ketidakmauan memandang tangis gadis menangisi ayahnya yang kusebutkan di awal. Tidak! Sama sekali beda. Sungguh menganga bedanya.

Televisi mati. Hening seketika. Sampai kudengar tangis pecah. Ternyata balita anak tetangga yang sedang terjatuh dari sepedanya. Kai ini aku beranjak. Mencoba menawarkan dadaku sebagai labuhan kepalanya.

44 comments:

iqbal latif said...

entah fiksi
entah falkta

al fajr "fajar" said...

falkta ki opo

al fajr "fajar" said...

beda.. air mata yang sungguh nyata dengan akting sebaik apapun akting itu..

yang bisa membuatq terdiam hanya air mata yang sungguh nyata

al fajr "fajar" said...

oiyo dadi kelingan episode "kabaret" ning metro pernah ana puisi

mata air air mata

iqbal latif said...

kabaret iku acara opo? ra ngerti...

berarti ada air mata ghaib ya?:)

HayaNajma SPS said...

tangis itu menyehatkan :D

Sukma Danti said...

Penguraian yg dalam brotha... Nice! Aku paling gak bs nahan nangis klo liat anak2 dgn lobang di kepalanya, karena peluru. Atau semacamnya.. :'(

akuAi Semangka said...

dan, hei.... (ga jadi, hehe..)

*ketika kata 'ogah' diganti menjadi 'enggan', rasanya akan membuat tulisan ini lebih manis.

haitami bin masrani said...

:) air mata itu membersihkan.....

lepas dari kemampuannya yang sangat mengagumkan untuk mempengaruhi sebuah object yang berperasaan seperti manusia macam kita ya, terlebih bila itu adalah seorang perempuan :)

Pemikir Ulung said...

bagus

ada ogahnya :p

Sukma Danti said...

Kalo sy justru suka bagian ada 'ogah'nya, perpaduan sesuatu yg serius menjadi semacam sesuatu yg spontan dan apa adanya *hahah ngomong apa to aku ini :D

rifi zahra said...

This post is great! :')

Sri Sarining Diyah said...

great...

iqbal latif said...

dan tangis karena Allah itulah juaranya

iqbal latif said...

seperti yang di postingan tettly elmir (bener g tulisannya ya?) tentang anak2 palestina kemaren?

iqbal latif said...

begitukah? tapi ada yg suka tuh.. dua lagi... jadi sementara skor 1-2 utk kekalahan ai.. :)

iqbal latif said...

seperti doa kalau pembawanya mulai terisak, bisa larutlah kita

iqbal latif said...

kata ogah itu khas jakarta kah ya?

iqbal latif said...

suratnya sdh nyamape berapa? he he

iqbal latif said...

ho ho..makasih mb..

iqbal latif said...

wes..danti keren....

:D....
(akhir2 ini sy lebih sering nulis, langsung publish. sekilas saja dibaca lagi.. Nggak kayak dulu2)

akuAi Semangka said...

kata ogah menjadi begitu mencolok di antara tulisanmu yang baku. Sedikit mengusik ketika dibaca. Eeh, tapi mungkin ini selera pembaca saja. :D


dan menyukai itu pilihan, om. Jadi tak perlu lah ada pertandingan untuk kata ogah ini. Hohoho... *gamaukalah.com

al fajr "fajar" said...

ah..wis suwi kuwi.. teater garapan butet kertarajasa

hedeeeeeehh

Sukma Danti said...

oh, of course.... :p

*jadi yg keren itu yg nulis atau saya, komentatornya? :D

Sukma Danti said...

klo nulisnya dari hati mo direvisi ataw gak, biasanya c bagus, paling gak ya ngena di hati lah

Sukma Danti said...

he'emm... ada yg liat gak ya?? :">

iqbal latif said...

kau menyadarkanku pada sebuah kaidah: di mata editor, tak ada tulisan yg benarbenar sempurna :)


#btw, dirimu cocok jd editor memang :p

iqbal latif said...

ho ho..gitu ya? awalnya ingin judulnya mata air air mata memang... tapi kemudian diganti yg ini

iqbal latif said...

komentator yang keren hanya akan timbul dari kekerenan yg dikomentari.. (*blethak*)

iqbal latif said...

wah, keren maneh :p

iqbal latif said...

maksudnya ada yg lihat? banyak tuh... komennya kan banyak juga

Pemikir Ulung said...

kayanya

iqbal latif said...

berarti pak ogah dari jkt?

Pemikir Ulung said...

maksudnya saya bukan? maaf kalo keGRan, tapi antisipasi kalau-kalau yang dimaksud saya, salah mas, yang saya bilang bagus tulisannya, dan kata "ada ogahnya" bukan sebab saya bilang bagus, justru saya kasi melet di belakang kalimat itu karena saya merasa aneh

Pemikir Ulung said...

sepakat sama ai

iqbal latif said...

iya aku tahu dirimu nggak bener2... tapi aku paksakan..ha ha

jadi dirimu sepakat dengan ai untuk menggantinya? apakah 'enggan; juga?


btw, yg dispekati di komen berikutnya apanya? kok nguote semuanya

Pemikir Ulung said...

udah kuedit tuh, biasalah kalo koneksi lagi ngedrop

iqbal latif said...

oke..untuk nulis lanjutan bs jadi bahan pertimbangan

Sukma Danti said...

ada yg liat aku nangis maksudnaa... hadehhh gak penting amat... :D

iqbal latif said...

ha ha..
iya g penting

Daicy Mahia DG said...

Saya kok jadi nangis ya..
Bagus tulisanmya

Daicy Mahia DG said...

Saya kok jadi nangis ya..
Bagus tulisanmya

Daicy Mahia DG said...

Saya kok jadi nangis ya..
Bagus tulisanmya

iqbal latif said...

nangis? kok bsa? hoho